IDXChannel – Perang antara Rusia dan Ukraina telah berlangsung selama lebih dari 1.000 hari. Hal ini menjadikannya konflik paling mematikan di Eropa sejak Perang Dunia II.
Jumlah korban dalam perang antara dua negara slavia bekas Uni Soviet itu mencapai puluhan ribu jiwa. Hingga 31 Agustus 2024, Misi Pemantauan Hak Asasi Manusia PBB di Ukraina mencatat sedikitnya 11.743 warga sipil tewas dan 24.614 terluka sejak dimulainya invasi besar-besaran Rusia pada 24 Februari 2022.
Pejabat PBB dan Ukraina memperkirakan angka sebenarnya mungkin lebih tinggi, mengingat kesulitan dalam verifikasi, terutama di wilayah seperti Mariupol yang kini dikuasai Rusia.
Sementara itu, kedua belah pihak merahasiakan jumlah kerugian yang dialami oleh militer masing-masing. Namun, perkiraan Barat menunjukkan bahwa Rusia mungkin telah menderita korban lebih banyak dibandingkan dengan Ukraina, dengan ribuan tentara tewas dalam pertempuran sengit.
Dampak ekonomi
Ekonomi Ukraina menyusut sekitar sepertiga pada 2022. Meskipun ada pertumbuhan pada 2023 dan 2024, posisi ekonomi Ukraina saat ini masih hanya 78 persen dari sebelum terjadinya agresi militer Moskow. Kerugian akibat perang langsung diperkirakan mencapai USD152 miliar pada Desember 2023, dengan total biaya rekonstruksi dan pemulihan diperkirakan sebesar USD486 miliar.
Di lain pihak, Rusia juga menanggung kerugian finansial yang signifikan. Perkiraan Pentagon (Departemen Pertahanan AS) menunjukkan, biaya perang yang ditanggung Moskow mencapai USD211 miliar. Selain itu, sanksi Barat telah menyebabkan penurunan ekspor dan dampak negatif pada ekonomi domestik negeri beruang merah.
Situasi medan perang
Hingga Desember 2024, Rusia mengklaim terus meraih kemajuan di Ukraina. Laporan tersebut menunjukkan bahwa pertempuran sengit tetap berlanjut dengan perubahan kontrol wilayah yang dinamis.
Rusia terus melancarkan serangan rudal besar ke kota-kota Ukraina, termasuk Dnipro, meningkatkan eskalasi konflik. Sementara itu, pasukan Kiev yang berada di Ukraina Timur terus terdesak oleh gempuran musuh mereka. Desa-desa Ukraina di kawasan itu pun berjatuhan ke tangan Moskow.
Tahun ini juga menjadi penanda pertama kalinya Ukraina melancarkan serangan darat lintas batas ke dalam wilayah Rusia. Serangan itu terjadi mulai 6 Agustus lalu. Menurut laporan BBC, Hampir 200.000 orang dievakuasi dari daerah sepanjang perbatasan oleh Pemerintah Rusia.
Presiden Vladimir Putin pun mengutuk serangan Ukraina itu sebagai provokasi besar-besaran. Setelah dua minggu, komandan tertinggi Ukraina mengklaim telah menguasai lebih dari 1.200 km persegi wilayah Rusia dan 93 desa.
Wilayah Kursk dan Belgorod di Rusia telah menyatakan keadaan darurat. Sebagian wilayah itu telah direbut kembali oleh Moskow. Akan tetapi, Ukraina sampai kini masih memiliki pasukan di wilayah Kursk.
Keterlibatan internasional
Pada November lalu, Presiden AS Joe Biden mengizinkan Ukraina menggunakan rudal jarak jauh AS untuk menyerang wilayah Rusia. Hal itu memicu reaksi keras dari Moskow dan meningkatkan ketegangan internasional.
Sebagai respons atas kebijakan Biden itu, Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan pihaknya telah memperbarui doktrin militernya terkait penggunaan senjata nuklir. Lewat dekretnya, Putin mengatakan Moskow berhak menggunakan senjata nuklir sebagai tanggapan atas penggunaan senjata pemusnah massal terhadap Rusia maupun sekutunya.
“Federasi Rusia berhak menggunakan senjata nuklir sebagai tanggapan atas penggunaan senjata nuklir dan (atau) senjata pemusnah massal lainnya terhadapnya dan (atau) sekutunya, serta dalam hal terjadi agresi terhadap Federasi Rusia dan (atau) Republik Belarusia sebagai Negara Kesatuan yang menggunakan senjata konvensional, yang menimbulkan ancaman kritis terhadap kedaulatan dan (atau) integritas teritorialnya,” bunyi terjemahan dekret Putin yang dipublikasikan di portal informasi hukum Rusia, seperti dikutip pada Selasa (19/11/2024).

Tidak disebutkan secara eksplisit senjata pemusnah massal yang dimaksud. Namun, Juru Bicara Kremlin, Dmitry Peskov mengatakan, militer Rusia terus memantau situasi dengan sangat cermat terkait penggunaan rudal AS oleh Ukraina.
Berbulan-bulan sebelum Biden memberi izin penggunaan rudal jarak jauh AS oleh Ukraina, negara-negara Barat lainnya sudah lebih dulu memberi isyarat bahwa mereka akan mengizinkan Kiev menggunakan senjata yang dipasok para anggota NATO untuk menyerang ke dalam wilayah Rusia.
Sementara itu, laporan lainnya menunjukkan bahwa pasukan Korea Utara terlibat langsung dalam pertempuran di Ukraina. Bantuan yang diberikan Pyongyang kepada Moskow semakin menambah kompleksitas dinamika konflik itu.
Dalam sebuah unggahan di platform media sosial X, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengklaim bahwa menurut data awal, jumlah tentara Korut yang tewas dan terluka di wilayah Kursk telah melampaui 3.000 orang.
Prospek ke depan
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyatakan keinginan untuk mengakhiri perang pada tahun depan, meskipun tantangan diplomatik dan militer yang signifikan masih ada.
Perubahan kepemimpinan global turut menimbulkan spekulasi mengenai nasib konflik tersebut. Terpilihnya kembali Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat dapat memengaruhi arah dan resolusi konflik ini. Apalagi, politikus Partai Republik itu sudah berulang kali mengungkapkan keinginannya untuk menghentikan bantuan militer ke Ukraina dan mengakhiri perang.
Sementara Kremlin tetap berkukuh bahwa jalan damai hanya bisa disepakati jika Kiev mengakui bahwa wilayah-wilayah Ukraina yang telah jatuh ke tangan Moskow sejak dimulainya agresi militer pada Februari 2024, kini menjadi bagian dari Federasi Rusia. Wilayah-wilayah yang dimaksud adalah Luhansk, Donetsk, Kherson, dan Zaporizhzhia.
Secara keseluruhan, konflik Rusia-Ukraina pada 2024 ditandai dengan eskalasi militer, dampak kemanusiaan yang mendalam, dan keterlibatan aktor internasional yang semakin kompleks.***
(Ahmad Islamy Jamil)