sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Tiga Modus Dugaan Korupsi Pertamina, Salah Satunya Oplos Pertamax dengan Pertalite  

News editor Ari Sandita
25/02/2025 19:18 WIB
Kejagung buka-bukaan modus tujuh tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina.
Tiga Modus Korupsi Pertamina, Salah Satunya Oplos Pertamax dengan Pertalite. (Foto: MNC Media)
Tiga Modus Korupsi Pertamina, Salah Satunya Oplos Pertamax dengan Pertalite. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung RI, Abdul Qohar buka-bukaan modus tujuh tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina, subholding, dan KKKS periode 2018-2023.

Salah satu modusnya yaitu mengoplos Ron 92 alias Pertamax dengan Ron 90 alias Pertalite.

Qohar mengatakan pengoplosan itu dilakukan saat Pertamina Patra Niaga melakukan pengadaan produk kilang. Tersangka RS yang menjabat sebagai direktur utama subholding Pertamina tersebut melakukan pembayaran untuk RON 92.  

Namun, sebenarnya yang dibeli RON 90 atau lebih rendah dari seharusnya. RON 90 itu pun dilakukan blending di depo untuk mengganti RON 92. Hal tersebut tak diperbolehkan atau bertentangan ketentuan yang ada.

Modus selanjutnya yaitu pengodisian penurunan produksi kilang. Hal itu dilakukan oleh tersangka RS, SDS sebagai Direktur Optimasi Feedstock dan produk PT Kilang Pertamina Internasional, dan AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.

Mereka melakukan pengondisian dalam rapat optimalisasi hilir atau OHA yang dijadikan dasar tuk menurunkan produksi kilang, sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya.

“Pada akhirnya pemenuhan minyak mentah atau kilang dilakukan dengan cara impor," ujarnya pada wartawan, Senin (24/2/2025).

Lebih lanjut, pada periode 2018-2023, pemenuhan minyak mentah dalam negeri seharusnya wajib mengutamakan pasokan dalam negeri. Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi sebagaimana diatur pasal 2 dan pasal 3 permen esdm nomor 42 tahun 2018 tentang prioritas pemanfaatan mintak bumi tuk pemenuhan kebutuhan di dalam negeri.

Namun berdasarkan fakta penyidikan yang didapatkan, tersangka RS, SDS, dan AP melakukan pengondisian dalam rapat optimalisasi hilir atau OHA yang dijadikan dasar tuk menurunkan produksi kilang. Sehingga, produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya yang akhirnya pemenuhan minyak mentah atau kilang dilakukan dengan cara impor.

"Pada saat produksi kilang sengaja diturunkan, maka produksi mentah dalam negeri sengaja ditolak dengan fakta sebagai berikut," tuturnya.

Dalih ketiga tersangka, kata dia, produksi minyak mentah oleh KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan KKKS masih masuk range harga hps. Produksi minyak mentah KKKS dilakukan penolakan dengan alasan spesifikasi tak sesuai spek, padahal faktanya masih sesuai spek dan dapat dihilangkan kadar merkuri atau sulfurnya.

"Kerja sama antara pemerintah dengan KKKS ini ada bagian minyak yang sebagian bagian KKKS dan sebagian bagian negara dengan kualitas sama berdasarkan presentasi yang disepakati. Pada saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS itu ditolak dengan dua alasan tersebut, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan ekspor. Secara otomatis bagian KKKS harus diekspor ke luar negeri," kata dia.

Guna memenuhi kebutuhan dalam negeri, Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang. Harga impor pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan harga sangat tinggi atau berbeda harga signifikan.

"Pada saat KKKS mengekspor bagian minyaknya karena tak dibeli PT Pertamina, pada saat yang sama PT Pertamina mengimpor minyak mentah dan produk kilang," ujarnya.

Selanjutnya, kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga diperoleh fakta adanya perumusan jahat atau mensrea antara penyelenggaraan negara yaitu tersangka SDS, AP, dan RS, dan YF bersama broker yaitu MK, DW, dan DRJ.

“Sebelum dilaksanakan dengan kesepakatan harga yang sudah diatur bertujuan mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara," kata dia.

Permufakatan tersebut diwujudkan dengan adanya tindakan atau actusreus, pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang sehingga seolah telah dilaksanakan sesuai ketentuan dengan cara pengondisian pemenangan broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi melalui spot tak memenuhi persyaratan.

"Dilakukan dengan cara tersangka RS, SDS, dan AP memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum. Tersangka DW dan DRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP tuk memperoleh harga tinggi pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan tersangka SDS tuk impor minyak mentah dan dari tersangka RS tuk produk kilang," tuturnya.

Modus kejahatan selanjutnya yaitu melakukan mark up pada kontrak pengiriman minyak yang merugikan negara.

Qohar menjelaskan pada saat dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang diperoleh fakta adanya mark up kontrak shiping atau pengiriman yang dilakukan tersangka YF selaku Dirut PT Pertamina Internasional Shipping. Sehingga, negara mengeluarkan fee sebesar 13-15 persen secara melawan hukum sehingga tersangka MKAN mendapat keuntungan dari transaksi tersebut.

"Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh oleh produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HP atau harga indeks pasar, bahan bakar minyak untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal atau lebih tinggi. Sehingga, dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi bahan bakar minyak setiap tahun melalui APBN," katanya.

Beberapa perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp193,7 triliun yang bersumber dari berbagai komponen. Pertama kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri, kerugian impor minyak mentah melalui demut atau broker, kerugian impor BBM melalui demut atau broker, kerugian pemberian kompensasi, dan kerugian karena pemberian subsidi karena harga minyak tadi menjadi tinggi.

Perbuatan tersangka melanggar pasal 2 ayat 1 juncto pasal 3 junto pasal 18 uu no 31 th 1999 jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

(Febrina Ratna Iskana)

Halaman : 1 2 3
Advertisement
Advertisement