sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Berdaulat Di Tanah Sendiri, Dompet Dhuafa Gelar FGD Konflik Agraria

Syariah editor Shifa Nurhaliza
20/04/2022 13:54 WIB
Berdasarkan hasil penelitian IDEAS, Indonesia cenderung terus memfasilitasi akses investor global ke tanah dan buruh murah untuk perkebunan besar
Berdaulat Di Tanah Sendiri, Dompet Dhuafa Gelar FGD Konflik Agraria. (Foto: Adv)
Berdaulat Di Tanah Sendiri, Dompet Dhuafa Gelar FGD Konflik Agraria. (Foto: Adv)

IDXChannel - Berdasarkan hasil penelitian IDEAS (Institute For Demographic and Poverty Studies), Indonesia cenderung terus memfasilitasi akses investor global ke tanah dan buruh murah untuk perkebunan besar, bahkan diatas kerugian rakyat yang kehilangan hak atas tanahnya. Disampaikan oleh Yusuf Wibisono selaku Direktur IDEAS, Indonesia menghadapi derasnya arus investasi agribisnis global skala besar, disebabkan oleh terjangan kapital perkebunan dan land grabbing.

“Ini sebenarnya primitif sekali, para petani diambil tanahnya, diakuisisi, kemudian dipaksa menjadi buruhnya,” papar Yusuf, dalam sebuah Focus Group Discussion yang digelar secara daring melalui Zoom Us oleh Dompet Dhuafa pada Kamis (14/3/2022).

Indonesia termasuk negara yang tak lepas dari tren land grabbing yang semakin global dalam incaran investor untuk transaksi penguasaan tanah di dunia. Secara umum, fenomena land grabbing tersebut menimbulkan konflik agraria di seluruh ilayah Indonesia tentunya. Sepanjang tahun 2020, tercatat telah terjadi 241 letusan konflik agraria di 359 kampung/desa, melibatkan 135.337 KK di atas tanah seluas 624.272,711. Bahkan secara akumulatif jika dijumlahkan dari tahun 2015 hingga 2020 telah terjadi sebanyak 2.288 letusan konflik agraria di seluruh wilayah Indonesia (KPA, 2020).

Senada dengan itu, Erasmus Cahyadi selaku Deputi Sekjen AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), menyebutkan, masyarakat adat dan hak atas wilayah adat merupakan potret penguasaan dan kebijakan. Masyarakat adat memiliki hak khusus (bawaan), sifatnya merujuk pada dimensi historis, hak tradisional. Sebab hak mereka merupakan hak yang tidak diberikan negara.

“Pun acap kali terdapat kasus perampasan wilayah adat yang diikuti dengan kekerasan terhadap masyarakat adat, ada 40 kasus di tahun 2020. Ini adalah potret dimana kebijakan pemerintah memberikan sengsara bagi masyarakat adat. Sepertinya hukum kita adalah seperangkat instrumen yang menundukkan masyarakat adat,” papar Erasmus.

Isu agraria menjadi isu yang strategis, pengaduan yang banyak dan melibatkan masyarakat banyak. Namun, hukum adalah produk politik. Salah sama dengan benar, benar bisa salah. Seolah regulasi yang diterbitkan tak menjawab permasalahan Agraria yang ada, maka apakah kehadiran regulasi-regulasi tentang kebijakan pertanahan serta keturunannya bagian dari solusi atau masalah?

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement