Dahnil pun mengungkapkan para jamaah yang menjadi korban pungli tersebut ketika akan safari wukuf justru uangnya dititipkan kepada petugas haji. “Namun kemudian ketika mau safari wukuf, ya dititipkan kepada panitia, panitia dalam hal ini adalah petugas haji," ujarnya.
Lebih lanjut, Dahnil menyoroti kasus-kasus jamaah lanjut usia yang sangat rentan secara fisik dan ekonomi, namun masih menjadi objek eksploitasi. Dia mencontohkan kisah Pak Satori dan Bu Salbiah, dua jamaah yang harus mengorbankan harta benda demi bisa berhaji.
“Nah kalau Anda perhatikan saya ada beberapa jamaah haji kita yang sudah sepuh, ada yang 105 tahun, 95 tahun. Ada satu jamaah haji misalnya, ada Pak Satori. Pak Satori ini petani, jual sawah tahun 2005 untuk daftar haji. Daftar haji 105 juta. Kemudian dibayarkan ke daftar haji, kemudian baru berangkat 2025 ini,” katanya.
Dahnil mengecam keras segala bentuk penyalahgunaan wewenang oleh petugas yang seharusnya melayani jemaah dengan empati dan integritas. “Yang Anda layani itu Pak Satori. Bu Salbiah, yang anda layani itu orang-orang yang untuk naik haji mereka menjual aset mereka, harta mereka. Tapi kalau kemudian masih ada yang melakukan pungli, kemudian menjadikan mereka komoditi atas nama agama," tuturnya.
Dia menambahkan, praktik-praktik seperti ini akan menjadi catatan khusus BP Haji dalam merancang sistem pengawasan dan transparansi yang lebih ketat untuk musim haji 2026.