Sikap Komisi Fatwa, menurut Hasanuddin, antara lain untuk menjaga jangan sampai anak-anak jadi terbiasa mengonsumsi produk makanan, minuman atau jajanan permen yang bentuknya menyerupai barang atau binatang haram. Jika hal tersebut dibiarkan, lanjutnya, akan timbul persepsi keliru di benak si anak, bahwa memakan ular itu tidak dilarang dalam agama. “Dalam kaidah syariah larangan ini sebagai aspek saddudz-dzari’ah, langkah pencegahan agar tidak terperosok dalam perbuatan maksiat yang diharamkan,” tukasnya.
Selain itu, Direktur Eksekutif LPPOM MUI, Ir. Muti Arintawati, M.Si menegaskan bahwa produk miras tidak akan pernah mendapatkan sertifikat halal MUI.
“Tidak benar kalau ada miras yang sudah bersertifikat halal MUI. Kami tidak mungkin melayani pendaftaran sertifikasi halal untuk produk seperti itu,” ungkapnya.
Muti merujuk pada Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standardisasi Fatwa Halal. Salah satunya menetapkan masalah penggunaan nama dan bahan, yang terdiri dari empat poin. Pertama, produk tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol-simbol makanan/minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan.
Kedua, produk tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol-simbol makanan/minuman yang mengarah kepada nama-nama benda/binatang yang diharamkan terutama babi dan khamr, kecuali yang telah mentradisi (‘urf) dan dipastikan tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan seperti nama bakso, bakmi, bakwan, bakpia dan bakpao.