"Anda berhasil menjual 16 dari 20 unit target bulan itu, lalu apa yang akan dilakukan dengan empat unit sisanya pada hari terakhir bulan? Menjual mobil itu meskipun dengan harga murah akan membuatnya memenuhi bonus sekitar 80.000 yuan atau sekitar Rp182 juta, dan hampir impas” kata seorang pengelola diler.
Menurut ekonom utama dari The Conference Board China Center Yuhan Zhang, fenomena ini menciptakan lingkaran masalah yang saling memperkuat satu sama lain.
"Mereka saling memberi makan, memperkuat satu sama lain, dan ini bisa menjebak pasar dalam lingkaran setan," ujarnya.
Kebijakan pemerintah lokal turut memperburuk kondisi. Banyak pemerintah daerah berlomba menyediakan lahan murah dan subsidi kepada pabrik mobil untuk meningkatkan produksi serta pendapatan pajak. padahal pertumbuhan pasar domestik tidak sebanding dengan peningkatan kapasitas tersebut.
"Ketika ada arahan dari Beijing bahwa ini adalah industri strategis, setiap gubernur provinsi menginginkan pabrik mobil. Mereka ingin berada dalam posisi yang baik dengan partai," kata seorang komentator ekonomi makro yang berbasis di Australia, Rupert Mitchell.
Kondisi ini mempersempit ruang bagi produsen untuk beroperasi secara menguntungkan. Dari sekitar 129 merek mobil listrik dan hibrida yang beredar di China, diperkirakan hanya sekitar 15 yang akan bertahan secara finansial hingga 2030.
Tekanan ini juga dialami oleh merek asing yang kehilangan pasar secara signifikan. Merek luar negeri di China mengalami penurunan penjualan dari 62 persen pada 2020 menjadi 31 persen dalam tujuh bulan pertama tahun ini.
Analis menilai industri otomotif China kini menghadapi tiga tantangan besar, yakni kelebihan kapasitas, persaingan harga yang merusak, dan ketergantungan pada volume produksi ketimbang profitabilitas.
(Febrina Ratna Iskana)