Hal ini seperti yang terlihat dalam penjualan saham dan aset obligasi senilai USD1,35 miliar antara pertengahan September dan pertengahan Oktober.
Pada September 2023, Rupiah terus mengalami depresiasi, mencapai Rp15,354 per dolar Amerika Serikat (AS)/USD, sebagai respons terhadap indikasi The Fed untuk mempertahankan tingkat suku bunga yang lebih tinggi dalam beberapa waktu ke depan serta indikator ekonomi China yang belum menunjukkan perbaikan signifikan.
"Meskipun demikian, Rupiah tetap menjadi salah satu mata uang yang menunjukkan performa terbaik di antara mata uang negara-negara berkembang, hanya kalah dari Real Brasil, yang secara konsisten menunjukkan kekuatan terhadap Dolar AS berkat permintaan global yang kuat terhadap komoditas Brasil," terang Riefky.
Sementara itu, cadangan devisa resmi Indonesia mengalami penurunan dari USD137,1 miliar pada Agustus 2023 menjadi USD134,9 miliar pada September 2023, utamanya disebabkan oleh upaya-upaya stabilisasi yang dilakukan oleh bank
sentral untuk mengatasi ketidakpastian eksternal dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Dengan pengumuman terbaru ini, cadangan devisa Indonesia kini setara dengan 6,1 bulan impor serta 6,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
"Penting untuk diperhatikan bahwa tekanan pada Rupiah akan berlanjut untuk beberapa waktu ke depan, yang kemungkinan akan menimbulkan tantangan bagi bank sentral dalam beberapa bulan mendatang," pungkasnya.
(FRI)