Sebab, kata Bhima, dengan devisa hasil ekspor yang bisa ditahan tentu akan ada likuiditas valas dan ini bisa menjadi penguat nilai tukar rupiah tanpa harus menaikan suku bunga.
Lebih lanjut Bhima memaparkan, jika melihat ke depannya, hal yang perlu diperhatikan BI yakni kondisi harga komoditas jelang Ramadhan yang kenaikannya masih cukup tinggi. Terlebih komoditas beras dan minyak goreng.
"Ini yang harus dijaga oleh pemerintah dan BI. Jadi kalau misalkan devisa hasil ekspornya efektif tidak perlu ada kenaikan suku bunga secara agresif," ucapnya.
Dampak lainnya jika BI mempertahankan suku bunga ini, akan berdampak pada sektor keuangan. Kata Bhima, sektor keuangan jadi tidak terlalu menarik, sehingga banyak investor yang mungkin akan mengalihkan dari investasi di sektor keuangan terutama di surat utang akan dialihkan kepada instrumen ataupun investasi non bunga misalnya, kembali lagi ke sektor riil.
"Jadi, ya overall, ini kebijakan yang bagus tapi juga harus diimbangi tadi dengan kebijakan devisa hasil ekspor plus pengendalian inflasi, sehingga inflasi bisa ditekan tidak setinggi tahun 2022 maka diakhir tahun ini BI mungkin hanya perlu menaikkan suku bunga 25-50 bps sepanjang tahun 2023," pungkasnya.
(DKH)