Setelah itu, BNI mulai mengerahkan usahanya dalam pembangunan ekonomi.
Kemudian, De Javasche Bank yang kini berganti nama menjadi Bank Indonesia ditunjuk sebagai bank sentral Indonesia.
Hari Bank Indonesia ke-69, Simak Pengertian dan Sejarahnya. (Foto: MNC Media)
Siapakah yang Mendirikan Bank Indonesia?
Pasca Konferensi Meja Bundar (23 Agustus – 2 November 1949), massa dan elite Indonesia berkeinginan kuat untuk menasionalisasi De Javasche Bank (DJB) yang telah berdiri sejak 1828.
Menteri Keuangan Kabinet Sukiman Mr. Jusuf Wibisono merupakan tokoh yang pertama kali menyatakan gagasan nasionalisasi DJB.
Pernyataan ini dibuat tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan pihak DJB. Hal ini membuat Presiden DJB, Dr A. Houwink memutuskan untuk mengundurkan diri.
Kemudian, pemerintah membentuk panitia nasionalisasi DJB berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 118 tanggal 2 Juli 1951, yang berlaku surut sejak 19 Juni 1951.
Mohamad Sediono sebagai ketua panitia yang dibantu oleh empat orang anggota, yakni Mr. Soetikno Slamet (kelak menjadi salah satu gubernur BI), T.R.B Sabarudin, Dr. R.M. Soemitro Djojohadikoesoemo, serta Drs. Khouw Bian Tie.
Setelah bermusyawarah, panitia memutuskan nasionalisasi DJB dilakukan dengan cara membeli saham-saham DJB kepada para pemiliknya.
Kesuksesan membeli saham-saham DJB tidak luput dari diplomasi dua delegasi Indonesia, yaitu Khouw Bian dan M Saubar kepada Vereeniging voor de Effectenhandel (perkumpulan pedagang efek), Amsterdam (Belanda).
Proses nasionalisasi DJB ini mengalami perjalanan yang cukup panjang, yakni pada 1951 hingga 1953.
Proses tersebut semakin mengerucut ketika Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Bank Indonesia (UUPBI) disahkan dan diundangkan melalui Lembaran Negara No. 40 Tahun 1953.
Undang-undang tersebut mulai berlaku sejak 1 Juli 1953.