Masih sangat terbatasnya pemahaman dan minat masyarakat terhadap industri perbankan syariah tersebut juga diakui oleh Kepala Center for Sharia Economic Development Indef, Nur Hidayah.
Kondisi faktual di lapangan tersebut, menurut Nur, berkelindan dengan fakta kurang optimalnya pengembangan potensi industri syariah di dalam negeri.
Klaim tersebut didasarkan Nur pada fakta bahwa Indonesia sejauh ini tercatat sebagai negara pengimpor terbesar keempat di Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dalam memenuhi kebutuhan industri halalnya.
Padahal, berdasarkan State of the Global Islamic Economy (SGIE) report 2023/2024, Indonesia menempati posisi kedua pada sektor makanan halal, posisi ketiga fesyen muslim, kelima farmasi dan kosmetik halal, dan keenam pada sektor media dan rekreasi halal.
"Jadi posisinya adalah bahwa kebutuhan (produk syariah) itu ada dan besar, namun Indonesia belum mampu memanfaatkan potensi tersebut dan masih bergantung pada pasokan produk halal dari negara lain," ujar Nur.
Kondisi ini tentu menjadi fakta yang cukup ironis. Dengan kebutuhan industri halal yang demikian besar, menurut Nur, harusnya Indonesia dapat tampil sebagai pengekspor terbesar, bahkan di level internasional, dan bukan justru nyaman sebagai negara pengimpor terbesar keempat di dunia.
Sementara, bagi industri perbankan sendiri, Konsultan Ekonomi Syariah, Adiwarman Azwar Karim, justru memiliki pandangan yang menarik.
Menurut Adiwarman, belum berkembangnya pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia dapat terjadi lantaran ada sebagian pelaku industri yang masih berstatus Unit Usaha Syariah (UUS), yang sengaja mengerem pertumbuhan bisnisnya demi menghindari kewajiban pemisahan usaha (spin off) dari Sang Induk.
Hal ini merujuk pada Ketentuan OJK yang mewajibkan bagi UUS yang telah memiliki aset minimal sebesar Rp50 triliun untuk memisahkan diri dari induk usahanya, dan menjadi entitas terpisah sebagai Bank Umum Syariah (BUS).
Analisa tersebut disimpulkan Adiwarman dengan didasarkan pada fenomena bahwa tren perlambatan pertumbuhan sedikit-banyak terjadi pada bank-bank syariah dengan nilai yang telah mendekati angka Rp50 triliun.
"Karena memang dengan nantinya telah spin off, ketika terjadi sesuatu, maka dia akan lebih struggle, karena tidak mudah lagi bagi induk usaha untuk cawe-cawe, karena sudah jadi entitas bisnis terpisah. Jadi ada sebagian yang sengaja mengerem agar tidak wajib spin off," ujar pria yang juga menjabat sebagai Wakil Komisaris Utama BSI tersebut.
Dengan adanya fenomena perlambatan pertumbuhan 'by design' tersebut, maka menurut Adiwarman, cukup sulit bagi pemerintah selaku regulator untuk dapat mendorong industri syariah secara keseluruhan untuk dapat tumbuh dan berkembang secara lebih maksimal.