NICA mencetak dan mengedarkan uang NICA untuk mengacaukan perekonomian Indonesia. Namun pada periode yang bersamaan, pemerintah Indonesia membentuk bank sirkulasi lain, yakni Bank Negara Indonesia sesuai UUD 45 pasal 23.
Untuk menegakkan kedaulatan ekonomi di Indonesia yang saat itu baru merdeka, BNI menerbitkan uang dengan nama Oeang Republik Indonesia (ORI). Pada masa ini, terjadi dualisme bank sirkulasi yang berakibat pada peperangan mata uang.
Uang NICA/DJB dipanggil dengan sebutan ‘uang merah’, sementara ORI dikenal sebagai ‘uang putih.’ Namun kedudukan bank sirkulasi kembali ke tangan DJB setelah Konferensi Meja Bundar pada 1949.
Saat itu, hasil konferensi menyepakati kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS), dan kedudukannya yang berada di bawah kerajaan Belanda, dan Indonesia menjadi bagian dari RIS. Namun kemudian RI keluar dari RIS, dan memasuki masa peralihan menjadi NKRI.
Saat itu, DJB tetap berfungsi sebagai bank sirkulasi yang sahamnya yang masih dimiliki oleh Belanda. Lantas pada 1951, muncul desakan untuk mendirikan bank sentral sebagai wujud kedaulatan ekonomi republik.