IDXChannel - Silicon Valley Bank (SVB) berkantor pusat di California tumbuh menjadi bank terbesar ke-16 di AS yang melayani kebutuhan finansial perusahaan teknologi di seluruh dunia sangat diminati selama tahun-tahun pandemi, sebelum serangkaian keputusan investasi yang tidak tepat menyebabkan keruntuhannya.
Guncangan pasar pada awal Covid-19 tahun 2020 membuka jalan bagi perusahaan rintisan dan perusahaan teknologi yang sudah mapan untuk memulai periode emas berkat konsumen menghabiskan banyak uang untuk gadget dan layanan digital.
Banyak perusahaan teknologi menggunakan jasa SVB untuk menyimpan uang tunai untuk penggajian dan pengeluaran bisnis lainnya sehingga menyebabkan masuknya simpanan seperti menginvestasikan sebagian besar deposito oleh bank.
Ketika SVB berinvestasi besar-besaran pada obligasi pemerintah AS bertenor panjang termasuk yang didukung oleh hipotek, perlahan menjadi pemicu awal kehancuran bank tersebut. Federal Reserve mulai menaikkan suku bunga dengan cepat untuk mengontrol inflasi, tanpa sadar portofolio obligasi SVB mulai kehilangan nilai yang signifikan.
Seandainya SVB dapat menahan obligasi tersebut selama beberapa tahun hingga jatuh tempo, maka SVB akan mendapatkan modalnya kembali. Namun, ketika kondisi ekonomi memburuk selama setahun silam, bersamaan dengan perusahaan-perusahaan teknologi yang terkena dampaknya, banyak nasabah bank mulai menarik deposito mereka.
Akibat tidak memiliki cukup uang tunai, Bank Silicon Valley (SVB) bahkan menjual beberapa obligasi dengan kerugian besar sdan membuat para investor dan nasabah ketakutan, hingga akhirnya hanya butuh waktu sekitar 48 jam SVB mengumumkan bahwa mereka telah menjual aset-asetnya dan keruntuhannya.
Meskipun masalah SVB berasal dari keputusan investasi sebelumnya, masalah ini juga dipicu pada tanggal 8 Maret ketika SVB mengumumkan peningkatan modal sebesar USD1,75 miliar. Bank tersebut mengatakan kepada para investor, bahwa mereka perlu menutup lubang yang disebabkan oleh penjualan portofolio obligasi yang merugi.
"Tiba-tiba semua orang menjadi khawatir bahwa bank ini kekurangan modal," kata Fariborz Moshirian, profesor di UNSW dan direktur Institute of Global Finance melalui laman The Guardian, Senin (13/03/2023).
Para nasabah kini menyadari adanya masalah keuangan yang mendalam di SVB dan mulai menarik uang mereka secara massal. Tidak seperti bank ritel yang melayani bisnis dan rumah tangga, nasabah SVB cenderung memiliki rekening yang jauh lebih besar sehingga bank tersebut mengalami kebangkrutan dengan cepat.
Khawatiran akan penularan meluas pemerintah AS pun turun tangan dalam menjamin semua simpanan nasabah bank, bahkan pemerintah bersama regulator di seluruh dunia, termasuk di Inggris dan Australia, tengah memeriksa eksposur SVB di sektor korporasi dan perbankan mereka.
"Dalam hal stabilitas, mereka telah menghindari konsekuensi rantai pasokan," kata Moshirian.
Meskipun Moshirian mengatakan, bahwa ia tidak berpikir bahwa sistem perbankan akan terurai, ia mencatat bahwa orang-orang pada awalnya juga merasa bahwa krisis sub-prime mortgage telah teratasi. Namun, hal ini kemudian memicu krisis keuangan global.
Untuk mengatasi risiko tersebut, Federal Reserve telah meluncurkan sebuah program baru yang memungkinkan bank-bank untuk meminjam dana yang didukung oleh sekuritas pemerintah untuk memenuhi permintaan dari para nasabah deposito.
Program tersebut dirancang untuk mencegah bank-bank dipaksa untuk menjual obligasi pemerintah, misalnya, yang telah kehilangan nilainya karena kenaikan suku bunga. Namun, ada kekhawatiran yang lebih mendesak untuk sektor teknologi karena tidak mendapatkan dukungan finansial lagi.
Pemerintah tidak menyelamatkan SVB dan bank tersebut akan tetap bangkrut atau berakhir dengan sisa aset yang tersebar di antara para kreditor, kecuali jika ada pembeli yang dapat menghidupkannya kembali.
Meskipun begitu pada hari Minggu lembaga-lembaga AS memperpanjang jaminan untuk melindungi semua deposito di bank tersebut, termasuk untuk para nasabah di lembaga kedua yang lebih kecil dan Signature Bank yang runtuh pada akhir pekan lalu.
Hal tersebut membuktikan bahwa para nasabah di SVB akan dapat mengakses semua uang mereka pada hari Senin pagi. Berbeda dengan para pemegang saham di bank dan beberapa kreditur tanpa jaminan.
Berbicara mengenai pengaruhnya terhadap suku bunga, bank-bank sentral di seluruh dunia telah menaikkan suku bunga selama setahun terakhir untuk mengendalikan inflasi yang tinggi, bahkan AS bergerak dari nol menjadi lebih dari 4,5% dengan cepat.
Sebagian besar ada perkiraan bahwa suku bunga akan naik lebih tinggi di AS, Inggris, dan Australia, sebelum stabil. Keinginan untuk terus menaikkan suku bunga sekarang akan diuji jika bank-bank sentral khawatir dengan masalah SVB yang menjadi indikasi kelemahan yang lebih luas pada neraca perusahaan akibat kenaikan suku bunga.
(Penulis Fidya Damayanti magang)
(SAN)