IDXChannel - Bank Indonesia (BI) membantah tudingan keberadaan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia atau SRBI memicu kondisi crowding out di pasar keuangan dan keketatan likuiditas perbankan saat ini.
Crowding out adalah istilah yang menggambarkan terserapnya aliran dana dari pasar keuangan ke salah satu instrumen otoritas, sehingga likuiditas sulit diperoleh oleh pelaku pasar keuangan.
Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan, bunga tinggi yang diberikan bank sentral ini untuk SRBI membuat pusaran dana tersedot ke instrumen tersebut agar dana asing terus tertarik masuk.
"Apakah terjadi crowding out? Jawabannya tidak. Dari sisi SRBI dan SBN, baik dari suku bunga dan lelangnya SBN untuk pembiayaan fiskal," ujar Perry dalam konferensi pers pengumuman hasil RDG BI Bulan Juli 2024 di Jakarta, Rabu (17/7).
Indonesia selama ini mengandalkan aliran modal asing di pasar keuangan dari tiga aset, yaitu saham, Surat Berharga Negara (SBN), serta SRBI. Ketika terjadi guncangan pasar beberapa waktu lalu akibat sentimen yang memburuk, arus modal asing keluar dari saham dan SBN.
Perry menambahkan, saat ini arus modal asing sudah mulai kembali ke SBN dan saham, tetapi nilainya masih sangat kecil.
"Oleh karena itu, untuk melindungi kita dari spill over Fed Fund Rate, imbal hasil treasury dan dolar AS, kami arahkan SRBI lebih tinggi. Karena lebih tinggi, makanya yield SRBI harus kompetitif, kami bandingkan dengan peer group, seperti India dan sebagainya," tutur Perry.
Sementara itu, Deputi Gubernur Bank Indonesia, Doni Primanto Joewono menambahkan, ada bukti lain bahwa SRBI tidak membuat likuiditas di bank seret. Tercermin dari kemampuan perbankan yang masih sangat ekspansif dalam menyalurkan kredit.
"Misalnya Bank BUMN itu justru naik kreditnya dari 68 persen ke 72 persen. Jadi dia enggak turun. Kemudian juga bank swasta nasional buku 3 dan 4, itu juga kreditnya naik dari 61 persen ke 63 persen," ujar Doni.
Terkait ketatnya likuiditas di perbankan itu sebelumnya disampaikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tercermin dari pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang masih lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kredit.
Berdasarkan catatan OJK pertumbuhan DPK secara tahunan mulai merangkak naik. Akan tetapi, masih terpaut jauh bila dibandingkan dengan pertumbuhan kredit.
Per Mei 2024, DPK naik 8,63 persen secara tahunan (yoy) menjadi Rp8.699 triliun per Mei 2023. Pada periode yang sama, penyaluran kredit tumbuh dua digit atau 12,15 persen yoy jadi Rp 7.376 triliun.
(FAY)