Selain kendala perizinan, penyebab lain backlog tidak teratasi yaitu anggaran perumahan yang sangat terbatas. Saat ini anggaran untuk perumahan tidak sampai 10 persen dari total anggaran Kementerian PUPR yang pada 2023 mencapai Rp154,36 triliun.
Menurut Joko, kondisi ini menunjukkan sektor perumahan belum terkelola dan terakomodir secara baik, serta belum menjadi program prioritas.
"Akibat kurang terencananya program perumahan, maka biaya yang harus dikeluarkan pemerintah akibat rumah masyarakat jauh dari tempat kerja justru lebih besar lagi yakni mencapai Rp71,4 triliun atau 2,2 juta liter per hari. Anggaran sebesar itu dipakai pemerintah untuk menyubsidi bahan bakar minyak (BBM) karena macet yang parah di jalan raya terutama di Jabodetabek,” jelasnya.
Di sisi lain, Kepala Badan Kajian Strategis DPP REI, Ignesjz Kemalawarta menilai sinergi antar lembaga kementerian negara selama ini belum optimal. Kondisi itu menyebabkan lemahnya penanganan berbagai kendala di sektor perumahan.
Ignesjz menyoroti masalah di sektor perumahan yang tidak menjadi subsektor PUPR sesuai PP No. 5 tahun 2021 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Resiko. Sehingga tidak dikenal KBLI 68111 Real Estate dalam perizinan berusaha.
Padahal, Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia atau KBLI itu menjadi dasar bagi pemerintah dalam pemberian izin berusaha berbasis risiko sebagai turunan dan amanat dari UU Cipta Kerja. “Perumahan justru tidak menjadi subjek PUPR. Tetapi yang lain seperti pembangunan jalan, bendungan, dan konstruksi ada,” ujarnya.
(FRI)