IDXChannel - Angka backlog perumahan di Indonesia bakal terus meningkat seiring tingginya angka kelahiran dan besarnya demografi penduduk Indonesia. Meski begitu, Real Estate Indonesia (REI) menilai pemerintah belum menaruh perhatian khusus terhadap masalah tersebut
Data REI menunjukkan probabilitas penduduk yang tinggal di perkotaan yang akan mencapai 66,6 persen di tahun 2035. Untuk dapat menuntaskan backlog perumahan yang angkanya telah mencapai 12,7 juta unit saat ini saja dibutuhkan ruang-ruang yang besar terutama di perkotaan untuk mengantisipasi tingginya urbanisasi.
Oleh karena itu, kebutuhan lahan untuk perumahan di perkotaan yang semakin meningkat, sangat membutuhkan penataan ruang yang konsisten, sehingga tidak terjadi lagi tumpang tindih aturan.
“Dari data-data tersebut, dapat dipastikan angka backlog akan sulit diselesaikan jika tidak ditanggani secara benar dan tepat,” ujar Ketua Umum DPP REI, Joko Suranto, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (18/10/2023).
Menurutnya, pelaku usaha juga masih merasakan banyak sekali perizinan yang harus diurus untuk membangun perumahan. Izin-izin tersebut tidak hanya di satu instansi, tetapi melibatkan banyak kementerian/instansi.
Setidaknya sektor perumahan beririsan erat dengan sekitar 5-6 kementerian yakni Kementerian PUPR, Kementerian ATR/BPN, Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, Kementerian KLHK dan Kemendagri.
Selain kendala perizinan, penyebab lain backlog tidak teratasi yaitu anggaran perumahan yang sangat terbatas. Saat ini anggaran untuk perumahan tidak sampai 10 persen dari total anggaran Kementerian PUPR yang pada 2023 mencapai Rp154,36 triliun.
Menurut Joko, kondisi ini menunjukkan sektor perumahan belum terkelola dan terakomodir secara baik, serta belum menjadi program prioritas.
"Akibat kurang terencananya program perumahan, maka biaya yang harus dikeluarkan pemerintah akibat rumah masyarakat jauh dari tempat kerja justru lebih besar lagi yakni mencapai Rp71,4 triliun atau 2,2 juta liter per hari. Anggaran sebesar itu dipakai pemerintah untuk menyubsidi bahan bakar minyak (BBM) karena macet yang parah di jalan raya terutama di Jabodetabek,” jelasnya.
Di sisi lain, Kepala Badan Kajian Strategis DPP REI, Ignesjz Kemalawarta menilai sinergi antar lembaga kementerian negara selama ini belum optimal. Kondisi itu menyebabkan lemahnya penanganan berbagai kendala di sektor perumahan.
Ignesjz menyoroti masalah di sektor perumahan yang tidak menjadi subsektor PUPR sesuai PP No. 5 tahun 2021 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Resiko. Sehingga tidak dikenal KBLI 68111 Real Estate dalam perizinan berusaha.
Padahal, Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia atau KBLI itu menjadi dasar bagi pemerintah dalam pemberian izin berusaha berbasis risiko sebagai turunan dan amanat dari UU Cipta Kerja. “Perumahan justru tidak menjadi subjek PUPR. Tetapi yang lain seperti pembangunan jalan, bendungan, dan konstruksi ada,” ujarnya.
(FRI)