Selain tantangan tersebut, lanjut Komaidi, transisi energi global juga memberikan tekanan besar. Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017, migas masih akan menyumbang 34-44 persen dalam bauran energi hingga 2050. Namun, kebijakan fiskal yang ada belum cukup mendukung proyek berbasis gas alam atau energi ramah lingkungan lainnya.
Pengembangan proyek gas yang potensial seperti 43 undeveloped discoveries membutuhkan insentif khusus.
"Kita perlu memberikan insentif tambahan untuk meningkatkan daya tarik investasi, terutama di lapangan marjinal," tambah Komaidi.
Penyederhanaan regulasi juga menjadi prioritas utama untuk memastikan keekonomian proyek migas. Komaidi mencontohkan penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 100 persen selama tahap eksplorasi. Selain itu, insentif berupa investment credit atau pengembalian modal tambahan untuk proyek berisiko tinggi tengah dikaji.
"Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kontribusi migas terhadap penerimaan negara," katanya.
Selain insentif fiskal, pemanfaatan teknologi baru juga menjadi bagian dari solusi. Menurut Komaidi, teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) telah menunjukkan hasil positif di beberapa lapangan tua. Data SKK Migas menunjukkan bahwa penerapan teknologi ini dapat meningkatkan produksi hingga 20 persen di lapangan tertentu.
"Investasi teknologi semacam ini hanya akan datang jika ada kepastian hukum dan regulasi yang mendukung," katanya.
Dalam kajiannya, ReforMiner Institute juga memberikan catatan pada isu transisi energy. Menurutnya, perlu kebijakan yang seimbang untuk menjalankan proses transisi ke energi bersih dengan tetap memberikan porsi yang proporsional untuk energy berbasis fosil. Salah satunya dengan pemanfaatan gas alam dan panas bumi yang ramah lingkungan.
“Integrasi energi fosil dengan energi baru terbarukan dapat menjadi jembatan menuju bauran energi yang lebih berkelanjutan. Kita tidak bisa meninggalkan sektor migas begitu saja, tetapi harus mengintegrasikannya dalam transisi energi," ujar Komaidi.
Dengan reformasi kebijakan yang tepat, menurut Komaidi, sektor hulu migas dapat tetap menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Langkah ini akan memastikan keberlanjutan investasi, meningkatkan penerimaan negara, dan mengurangi ketergantungan impor.
"Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat harus bekerja sama untuk menjawab tantangan ini. Hanya dengan sinergi, kita bisa membawa sektor migas Indonesia ke tingkat yang lebih baik," ujar Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti itu.
(Febrina Ratna)