Risiko itu berada di kedua pihak, baik pemberi pinjaman maupun penerima pinjaman. Tanpa menyelidiki profil calon nasabah dan tanpa ada jaminan, perusahaan penyedia Pinjol berisiko mengalami kredit macet yang besar.
Peminjam juga berisiko karena kerap menyetujui tanpa membaca “syarat dan ketentuan” yang banyak dan hurufnya kecil. Padahal di dalamnya tertuang ketentuan seperti bunga maupun konsekuensi bila pinjaman tidak dilunasi sesuai waktu yang disepakati.
"Oleh karena itu, penting dilakukan literasi kepada masyarakat agar memahami lebih teliti perusahaan fintech untuk memenuhi kebutuhannya. Penting memberikan literasi kepada masyarakat agar harus mempelajari syarat dan ketentuan sebelum menyetujui pinjaman,” paparnya.
Literasi Fintech khususnya Pinjol pun harus terus digalakkan karena bagaimanapun, dalam kondisi ekonomi terdesak, seseorang akan kalut dan langsung menyetujui ketentuan dan syarat Pinjol. Keputusan itu tanpa mengindahkan risiko kemudian hari bahwa seluruh kontak telepon yang bersangkutan akan dikirimi broadcast bahwa yang bersangkutan belum membayar.
“Pinjaman Online saat ini merupakan fenomena yang tak terhindarkan. Setelah setahun pandemi, karena banyak yang kendala ekonomi, tentu akan lebih besar lagi demand terhadap pinjol. Sementara banyak masyarakat belum bisa terlayani oleh lembaga keuangan pada umumnya. Peluang itulah yang kemudian ditangkap oleh perusahaan fintech, termasuk pinjaman online." (NDA)