IDXChannel - Masalah stabilitas harga dan ketersediaan pasokan terus jadi sorotan masyarakat seiring datangnya momen Ramadan dan Lebaran 2022. Usai minyak goreng dan Bahan Bakar Minyak (BBM), kini permasalahan harga gula juga disoal.
Dalam pandangan petani, cara pemerintah dalam mengendalikan fluktuasi harga gula di pasar dengan menerapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) merupakan sebuah kesalahan.
"(Gula) Ini bukan barang yang dikuasai pemerintah. Barang ini diproduksi oleh petani. Dibuat oleh petani. Masak barangnya dikuasai petani, lalu harganya dibatasi oleh pemerintah (lewat aturan HET)," ujar Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen, dalam Market Review IDXChanel, Selasa (5/4/2022).
Menurut Soemitro, pemerintah tidak bisa secara sepihak menentukan dan menerapkan HET karena berbagai biaya produksi, seperti harga pupuk sampai ongkos angkut, juga mengalami peningkatan signifikan. Dengan demikian, posisi petani jadi terjepit antara meningkatnya biaya produksi dan harga jual yang dibatasi.
"Makanya bila tujuan pemerintah (menerapkan HET) untuk memberikan harga yangm murah untuk konsumen, perlu dipahami bahwa bukan pemerintah yang memberikan subsidi, melainkan petani tebu lah yang menyangga harga murah untuk konsumen itu," keluh Soemitro.
Karenanya, bila ingin benar-benar mewujudkan harga murah untuk masyarakat, Someitro meminta agar pemerintah lebih fokus pada upaya meningkatkan produktivitas petani, seperti pemberian subsidi pupuk, infrastruktur pendukung, penyaluran kredit yang murah dan mudah serta insentif lainnya yang mendukung produktivitas pertanian.
"Jadi kalau mau harga murah, tingkatkan produktivitas tanaman kita. Pupuknya disubsidi, infrastrukturnya dipenuhi. Dengan begitu produksi gula meningkat. Kita tidak perlu lagi impor. Pasokan cukup, sehingga harga dengan sendirinya bisa murah tanpa harus ada tekanan pada petani," tegas Soemitro. (TSA)