sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Celios Desak Pemerintah Reformasi Metodologi Pengukuran Angka Kemiskinan

Economics editor Tangguh Yudha
27/07/2025 12:45 WIB
Celios mengkritik validitas data kemiskinan BPS karena dinilai tidak mencerminkan kondisi di masyarakat.
Celios Desak Pemerintah Reformasi Metodologi Pengukuran Angka Kemiskinan. (Foto: Inews Media Group)
Celios Desak Pemerintah Reformasi Metodologi Pengukuran Angka Kemiskinan. (Foto: Inews Media Group)

IDXChannel – Center of Economic and Law Studies (Celios) mengkritik validitas data kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut lembaga tersebut, metode perhitungan BPS tidak mencerminkan kondisi di masyarakat.

Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar, menyebutkan selama hampir lima dekade, BPS masih mengandalkan pendekatan pengukuran berbasis pengeluaran dengan item-item konsumsi yang tidak lagi relevan dengan perkembangan ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia.

“Dampak dari metodologi yang usang ini berpengaruh langsung terhadap kebijakan anggaran dan perlindungan sosial. Dengan jumlah penduduk miskin yang kecil versi data pemerintah, maka alokasi anggaran perlindungan sosial dalam RAPBN 2026 juga berpotensi ditekan atau tidak akan mengalami peningkatan signifikan,” kata Media dalam pernyataan resminya, Minggu (27/7/2025).

Media membandingkan data resmi BPS dengan laporan terbaru Bank Dunia yang menyebut bahwa 68,2 persen penduduk Indonesia atau sekitar 194,4 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan internasional. Angka ini jauh berbeda dibanding data BPS yang mencatat hanya 8,57 persen atau 24,06 juta jiwa tergolong miskin.

Meskipun metodologi yang digunakan berbeda, ia menilai disparitas hingga delapan kali lipat ini mengindikasikan adanya persoalan serius dalam definisi dan pengukuran kemiskinan nasional.

“Pengukuran data kemiskinan BPS yang tidak lagi relevan ini, juga diperburuk oleh sistem pendataan yang mensyaratkan penerima bansos harus terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Jika garis kemiskinan terlalu rendah, maka otomatis banyak masyarakat rentan yang tidak terjaring ke dalam kategori masyarakat miskin sesuai data DTKS dan akhirnya tidak menerima bantuan sosial apa pun," tambahnya.

Media menekankan Indonesia perlu melakukan reformasi menyeluruh terhadap metode pengukuran kemiskinan, seperti yang telah dilakukan oleh negara-negara lain, termasuk Malaysia dan negara-negara Uni Eropa.

Ia mendorong pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) yang menetapkan pendekatan baru dalam memaknai kemiskinan secara lintas sektoral, guna menyinkronkan data, indikator, dan kebijakan pengentasan kemiskinan ke depan.

Selain itu, Media mengusulkan agar ukuran kesejahteraan tidak lagi semata berbasis pengeluaran, tetapi pada pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income). Pendekatan ini dianggap lebih tepat karena mencerminkan kondisi masyarakat setelah dipotong kewajiban seperti pajak dan pengeluaran dasar, serta memperhitungkan efek intervensi kebijakan fiskal pemerintah.

“Dengan membandingkan tingkat kemiskinan sebelum dan sesudah intervensi negara, kita dapat menilai seberapa efektif kebijakan sosial yang ada. Ini memungkinkan kita mengetahui program mana yang perlu dilanjutkan, dan mana yang sebaiknya dihentikan,” kata Media.

Ia juga menyoroti pentingnya evaluasi kesejahteraan yang menyeluruh, dengan melibatkan indikator seperti akses pendidikan, perumahan, kesehatan, upah layak, jaminan sosial, angka pengangguran, hingga tingkat kejahatan dan korupsi.

Menurut Media, saat ini pemerintah cenderung hanya menonjolkan data yang positif, meskipun landasan metodologinya lemah dan mengabaikan indikator penting lainnya.

“Kita lebih baik menggunakan data dengan benar untuk melihat fakta yang ada, ketimbang memoles data hanya untuk kepentingan pencitraan, yang ujung-ujungnya malah membingungkan perencanaan kebijakan ke depan. Kemiskinan bukan aib, tapi masalah sosial yang harus diselesaikan,” kata dia.

(Febrina Ratna Iskana)

Halaman : 1 2 3
Advertisement
Advertisement