sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Efek Perang sampai Ancaman Defisit APBN, Kenaikan Harga BBM Tak Terhindarkan

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
12/09/2022 11:00 WIB
Impor migas menyebabkan beban anggaran pemerintah semakin besar. Kenaikan BBM dinilai keputusan tak terhindarkan.
Efek Perang sampai Ancaman Defisit APBN, Kenaikan Harga BBM Tak Terhindarkan. (Foto: MNC Media)
Efek Perang sampai Ancaman Defisit APBN, Kenaikan Harga BBM Tak Terhindarkan. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Kenaikan bahan bakar minyak (BBM) telah diumumkan secara resmi oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 3 September 2022 lalu. Kebijakan ini disambut oleh berbagai pro dan kontra banyak kalangan.

Gelombang demonstrasi di dalam negeri tidak dapat dihindarkan. Tuntutan untuk menurunkan harga BBM semakin meluas.

Presiden Jokowi sebelumnya menyebutkan menaikkan harga BBM merupakan keputusan tersulit yang dirinya ambil. Menurutnya, dinaikkannya BBM merupakan jalan terakhir yang harus diambil pemerintah di tengah situasi global.

"Saat ini pemerintah harus membuat keputusan dalam situasi yang sulit. Ini adalah pilihan terakhir pemerintah yaitu mengalihkan subsidi BBM sehingga harga beberapa jenis BBM yang selama ini mendapatkan subsidi akan mengalami penyesuaian," kata Jokowi.

Sejumlah dampak ekonomi hingga sosial dikhawatirkan memburuk akibat adanya kebijakan kenaikan ini. Menurut analisis IMF, naiknya harga makanan dan energi berpotensi menyebabkan kesulitan yang meluas.

Ini mengingat energi dan makanan adalah komoditas penting dengan sedikit pengganti. Kenaikan harga tentu sangat menyakitkan bagi rumah tangga.

Tidak seperti kenaikan harga barang-barang lain, yang dengan mudah dikurangi--seperti elektronik, furnitur, atau hiburan--kebutuhan pokok seperti makanan, pemanas, dan transportasi tidak mudah untuk digantikan begitu saja.

Akibatnya, situasi saat ini tidak hanya mengancam stabilitas ekonomi, tetapi juga stabilitas sosial.

Gejolak Geopolitik dan Ekonomi Dorong Meroketnya Harga Minyak

Dalam beberapa waktu terakhir, harga minyak dunia mengalami fluktuasi yang cukup signifikan akibat pecahnya perang Rusia-Ukraina. Krisis energi meluas akibat pasokan yang terhambat.

Dr Fatih Birol, Executive Director, International Energy Agency (IEA), dalam keterangan tertulisnya, menyatakan, selain menyebabkan krisis kemanusiaan yang parah, invasi Rusia ke Ukraina juga telah berdampak luas pada sistem energi global, mengganggu pola penawaran dan permintaan, dan meretakkan hubungan perdagangan yang telah berlangsung sejak lama.

“Keengganan Rusia memasok minyak ke beberapa negara menyebabkan pasokan minyak mentah terhambat dan memaksa system energi global memutar otak melakukan diversifikasi pasokan dari tempat lain”, katanya mengutip website IEA (13/05/22).

Konflik yang meluas akibat dari perang Rusia-Ukraina ini menyebabkan ketidakstabilan harga minyak dunia. Harga minyak mentah dunia sempat melambung pada kisaran US$ 90 hingga US$ 100 per barel. 

Sumber: Oilprice.com

Hal ini sejalan dengan laporan IMF yang dalam analisisnya mengatakan perang di Ukraina semakin mendorong peningkatan harga energi.

Dalam laporan tersebut, sejak April 2022, jumlah gas pipa Rusia yang dipasok ke Eropa mengalami penurunan tajam, menjadi sekitar 40 persen dibanding tahun sebelumnya.

Sebelumnya, di tahun pertama pandemi harga minyak sempat terpuruk ke titik terendah untuk kali ke tiga dalam 12 tahun terakhir. Jatuhnya permintaan global terhadap minyak menjadi penyebab utama anjloknya harga minyak.

Harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) sempat minus US$ 37,63/barel, sekaligus menjadi yang terendah sepanjang sejarah. (20/4/2020). Permintaan minyak juga hanya di angka 9 juta barel per hari, lebih rendah dari permintaan tahun sebelumnya.

Tak hanya kondisi geopolitik, lanskap ekonomi global sedang berusaha bangkit dan pulih pasca hantaman pandemi Covid-19. Dunia dihadapkan pada kondisi melambatnya pertumbuhan ekonomi global serta ancaman resesi.

Sementara itu, konsumsi energi di Indonesia diproyeksikan akan terus meningkat hingga tahun 2050. Kondisi ini berpotensi membebani APBN dan memperbesar defisit neraca perdagangan migas. Hal ini terlihat dengan performa neraca perdagangan migas yang selalu mencatatkan minus dalam lima tahun terakhir.

Halaman : 1 2 3
Advertisement
Advertisement