sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Ekonom Prediksi Inflasi Capai 1,5 Persen di Akhir 2021, Ini Penjelasannya

Economics editor Kunthi Fahmar Sandy
04/11/2021 21:28 WIB
Dengan mempertimbangkan dampak terbatas inflasi, maka diperkirakan inflasi 2021 pada 1,5% yoy
Ekonom Prediksi Inflasi Capai 1,5 Persen di Akhir 2021, Ini Penjelasannya (FOTO:MNC Media)
Ekonom Prediksi Inflasi Capai 1,5 Persen di Akhir 2021, Ini Penjelasannya (FOTO:MNC Media)

IDXChannel - Peningkatan harga komoditas non-minyak (batubara, kelapa sawit, dll.) menguntungkan bagi perdagangan dan pendapatan fiskal Indonesia. 

Sementara dampak dari harga minyak diwaspadai karena Indonesia adalah importir bersih minyak. Regulator industri hulu mengatakan bahwa kenaikan harga global memberikan kesempatan bagi produsen lokal untuk meningkatkan produksi, meningkatkan pendapatan, keuntungan, dan berarti pengumpulan pendapatan lebih tinggi – pendapatan Januari - Agustus 2021 dari operasi hulu telah melampaui target. 

"Terkait IHK, inflasi IHK Januari -September rata-rata 1,5% yoy, di bawah target BI, yang sebesar 2-4%, dengan sub-indeks utama, yaitu inflasi inti (bobot 65,5%), inflasi barang dan jasa yang harganya diatur pemerintah (18%), dan komponen energi pada jalur bersahabat," ujar

Radhika Rao Senior Economist DBS, Kamis (4/11/2021). 

Meskipun terjadi kenaikan harga minyak global, hal ini kemungkinan tidak akan menyebabkan inflasi lebih tinggi dalam waktu dekat karena peredam benturan bawaan, melalui kenaikan harga beberapa jenis bahan bakar karena harga minyak lebih tinggi (bahan bakar kelas rendah bersubsidi, yaitu bahan bakar di bawah RON92). 

Sebagai contoh, harga RON88-90-92 tidak berubah sejak awal tahun 2020 dan selama pandemi. Tarif listrik tetap (untuk rumah tangga yang lebih kecil) dan penyesuaian triwulanan yang tertunda untuk pelanggan menengah/besar. 

"Dengan mempertimbangkan dampak terbatas inflasi, kami mempertahankan inflasi 2021 pada 1,5% yoy, sebelum naik ke revisi 2,5% pada tahun depan karena unsur basis tetapi masih di titik rendah dari kisaran target BI (dengan asumsi tidak ada reformasi subsidi)," beber dia. 

Dengan barang dan jasa yang diproduksi masih di bawah tingkat sebelum pandemi, penyesuaian harga energi tidak akan segera terjadi, bahkan saat tekanan fiskal (pengeluaran lebih besar daripada pendapatan) mungkin terlihat dengan jeda. 

Subsidi energi (bahan bakar dan listrik) turun dari lebih dari 3% dari PDB pada 2013-14 menjadi di bawah 1% dari PDB pada tahun lalu, sebelum bersiap untuk naik kembali pada tahun ini-2022. 

Namun, hal ini tidak akan membawa dampak buruk pada perhitungan fiskal (lihat di sini). Meskipun demikian, saat pertumbuhan kembali normal dan pandemi telah berlalu, tekanan untuk menerapkan kembali reformasi subsidi kemungkinan akan kembali untuk mengurangi tekanan pada pendapatan dan keuangan BUMN di sektor terkait.

"Mengingat dampak kecil terhadap inflasi dalam waktu dekat, kami mempertahankan imbauan kami agar BI melanjutkan penundaan penyesuaian kebijakannya, sementara perhitungan fiskal lebih kuat membatasi imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun. Rencana pengurangan pembelian aset oleh Bank Sentral AS dan gejolak yang ditimbulkannya akan dicermati," beber dia.

(SANDY)

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement