IDXChannel - Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memperingatkan adanya sinyal waspada dari lesunya konsumsi rumah tangga menjelang Lebaran 2025. Hal tersebut diungkap dalam CORE Insight bertajuk Awas Anomali Konsumsi Jelang Lebaran yang dirilis Kamis (27/3/2025).
Gejala anomali konsumsi rumah tangga menjelang lebaran tertangkap dari tren deflasi pada awal 2025. BPS kembali mencatat deflasi pada Februari 2025, baik secara tahunan (0,09 persen), bulanan (0,48 persen) maupun year to date (1,24 persen).
Secara agregat, inflasi inti memang masih cukup baik yaitu 0,25 persen secara bulanan dan 2,48 persen secara tahunan. Faktor terbesar penyumbang deflasi juga berasal dari kelompok pengeluaran perumahan, air, listrik dan bahan bakar rumah tangga, yang dipicu oleh insentif diskon tarif listrik 50 persen yang diberikan pemerintah untuk rumah tangga kelas menengah sejak dari Januari hingga Februari 2025.
Namun, janggalnya deflasi pada februari 2025 tidak hanya terjadi pada kelompok pengeluaran tersebut, melainkan juga pada kelompok makanan, minuman dan tembakau dengan andil sebesar 0,12 persen secara bulanan.
"Padahal, menjelang Ramadan pada tahun-tahun sebelumnya, kelompok makanan, minuman dan tembakau selalu menyumbang inflasi,
meskipun dorongan kenaikan harga biasanya tertahan oleh musim panen yang sudah dimulai pada bulan Februari di beberapa daerah di Indonesia," demikian CORE Insight.
Pada 2024, kelompok pengeluaran ini memberikan andil Inflasi secara bulanan sebesar 0,29 persen pada Februari dan 0,41 persen pada Maret. Sedangkan pada 2023, kelompok ini memberikan andil inflasi secara bulanan sebesar 0,13 persen (Februari) dan 0,09 persen (Maret).
Penjualan Riil Merosot
Bank Indonesia mencatat Indeks penjualan riil (IPR) pada Februari 2025 diperkirakan merosot 0,5 persen (yoy), dipengaruhi jatuhnya penjualan Kelompok Makanan, Minuman, dan Tembakau hingga minus 1,7 persen.
IPR mencerminkan tingkat penjualan eceran di beberapa kota besar di Indonesia, salah satu indikator
penting dari sisi produsen yang dapat menggambarkan pergerakan konsumsi rumah tangga.
Dengan mengesampingkan kasus Covid-19 pada 2020-2021, pertumbuhan IPR sebetulnya telah melambat sejak
2017. Sebelum 2017, pertumbuhan IPR selalu double digits, tetapi sejak 2017 pertumbuhan IPR stagnan di
bawah 5 persen.
Perlambatan pertumbuhan IPR sejak 2017 mencerminkan adanya tekanan yang semakin mengeras terhadap konsumsi rumah tangga. Puncaknya adalah anomali pada Ramadan dan lebaran 2025.
Melemahnya pertumbuhan penjualan beberapa ritel menguatkan hasil survei IPR yang dilakukan oleh Bank
Indonesia di atas . Misalnya, pertumbuhan penjualan Indomaret melambat signifikan dari 44,7 persen pada 2022-2023, menjadi hanya 4 persen pada 2024.
Alfamart, dari 13,9 persen pada 2022 terpangkas menjadi 10 persen pada 2024. Begitu juga juga Ramayana, dari 8,1 persen pada 2022, menjadi
hanya 0,1 persen pada 2024.
Perlambatan juga terjadi pada ritel kelas menengah atas, seperti Hypermarket. Pertumbuhan penjualannya terpangkas setengah, dari 4,8 persen pada 2022 menjadi hanya 2,3 persen pada 2024. Matahari bahkan penjualannya menurun sebesar 2,6 persen pada 2024.
Impor Bahan Konsumsi Menurun
Pada sisi lainnya, data impor bahan konsumsi terkontraksi cukup dalam baik tahunan maupun bulanan pada Februari 2025. BPS mencatat impor
barang konsumsi pada Februari 2025 menyentuh USD1,47 miliar.
Angka ini 10,61 persen lebih rendah jika dibandingkan impor pada Januari 2025 yang mencapai USD1,64 miliar. Jika disandingkan dengan periode Februari 2024, impor menjelang Ramadan 2025 jatuh lebih dalam sebesar 21,05 persen.
Menurunnya Jumlah Pemudik
Sinyal pemangkasan konsumsi oleh rumah tangga juga tercermin dari hasil Survei Potensi Pergerakan Masyarakat angkutan lebaran 2025. Pada lebaran 2025, Kementerian Perhubungan memprediksi jumlah pemudik mencapai 146.48 juta atau setara dengan 52 persen penduduk Indonesia. Namun, proyeksi tersebut jauh di bawah jumlah pemudik pada 2024 yang mencapai 193.6 juta, atau turun 24 persen.
Penurunan jumlah pemudik pada lebaran 2025 juga mengindikasikan adanya penurunan pendapatan yang dapat dibelanjakan oleh rumah tangga kelompok menengah ke bawah. Alhasil, banyak dari rumah tangga mengurungkan niat untuk mudik ke kampung halaman.
Tekanan pada potensi pendapatan itu sejalan dengan penurunan indeks ekspektasi penghasilan 6 bulan ke depan. Bank Indonesia mencatat, pada Februari 2025, ekspektasi penghasilan selama 6 bulan ke depan turun 1,1 persen (bulanan). Pada periode yang sama, ekspektasi ketersediaan lapangan kerja selama 6 bulan ke depan juga jatuh 2,1 persen.
Sementara itu, perspektif produsen juga menunjukkan sinyal gawat. Sinyal ini tampak dari setoran penerimaan pajak untuk lapangan usaha perdagangan dan industri manufaktur yang terjungkal cukup dalam.
Pada Januari 2025, setoran pajak dari industri pengolahan hanya Rp23,25 triliun atau terkontraksi sebesar 39 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp38,1 triliun.
Kinerja sektor perdagangan juga jatuh lebih dalam sebesar 89 persen pada periode yang sama. Pada Januari 2025, realisasi penerimaan pajak sektor perdagangan hanya Rp4,23 triliun, jauh di bawah Januari 2024 sebesar Rp38,8 triliun.
"Data-data di atas menguatkan hipotesis adanya kejanggalan perilaku konsumsi rumah tangga menjelang lebaran 2025. Fenomena apakah ini sebetulnya? CORE menilai ini adalah fenomena penurunan daya beli masyarakat," tulis CORE Insight.
Daya beli adalah kemampuan sejumlah uanguntuk membeli sebuah barang atau jasa. Maka, fenomena penurunan daya beli adalah berkurangnya kemampuan masyarakat untuk mengonsumsi suatu barang atau jasa.
Penurunan daya beli juga bisa dipahami dari sisi pendapatan, yakni berkurangnya pendapatan menurunkan kemampuan rumah tangga untuk mengonsumsi barang atau jasa.
(NIA DEVIYANA)