"Pertanyaannya, kenapa pemegang IUP atau PKP2B itu tidak memasok DMO? Nah, dasarnya mereka mementingkan ekspor yang harganya lebih tinggi daripada harga DMO yang lebih rendah," ungkap Fabby.
Tak hanya itu, faktor utama terjadinya krisis Jenis bahan bakar lokomotif uap itu juga didorong oleh realisasi DMO di internal BUMN di sektor ketenagalistrikan itu sendiri. Fabby memandang, DMO lebih mudah didiskusikan daripada dilaksanakan.
Dalam hitungannya, produsen batu bara tidak semuanya memproduksi batu bara yang sesuai dengan spesifikasi pembangkit PLN. Sebagian besar pembangkit batu bara PLN menggunakan kalori rendah atau di level 4.200. Sementara, ada sejumlah produsen yang tidak memproduksi kalori rendah atau memproduksi kalori yang lebih tinggi dari kebutuhan pembangkit PLN.
"Lalu juga, kalau kita lihat pemegang IUP itu ada ribuan, izin usaha pertambangan. Kan tidak semua produksi batu baranya itu angkanya jutaan ton, ada yang hanya beberapa ribu ton dalam 1 bulan. Nah, kalau itu hanya 25% dan dialokasikan, itu kalau disuruh kirim sendiri yah mahal lho karena dia kecil volume produksinya," tuturnya.
Perkara itu, menyebabkan persoalan logistik di internal produsen. Menurut dia, kendala logistik membuat produsen batu bara sulit merealisasikan DMO 25%. Meski begitu, pelaksanaan DMO yang memperhatikan loading facility atau pengumpulan bisa mendorong realisasi DMO.