IDXChannel - Ulah segelintir perusahaan harus dialami secara tanggung renteng, itulah yang terjadi hingga menyebabkan pemerintah memutuskan melarang ekspor batu bara. Hal itu juga terjadi karena PLN tengah menghadapi potensi krisis energi di Indonesia.
Direktur Eksekutif Lembaga riset Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mencatat ketidakefektifan kewajiban pasokan atau Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 25% dari produsen menjadi sebab utamanya.
"Ya faktor fundamentalnya adalah pelaku usaha tambang yang berkewajiban memasuk 25% produksi sebagai DMO itu gak memasok. Jadi, faktor fundamentalnya adalah terjadi pelanggaran dari pelaku usaha penambang batu bara yang berkewajiban memasok 25 persen dari produksi sebagai DMO itu mereka tidak memasok," ujar Fabby saat dihubungi MNC Portal Indonesia, Selasa (4/1/2022).
Menurutnya, tidak maksimalnya DMO yang dipasok perusahaan batu bara menyebabkan pasokan batu bara untuk pembangkit PLN dan pembangkit listrik swasta atau Independent Power Producers (IPP) menjadi terganggu.
Kendala pasok DMO sendiri didorong oleh disparitas harga antara harga ekspor dan dan DMO itu sendiri. Artinya, produsen atau Izin Usaha Pertambangan (IUP) hingga Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) memilih mengekspor batu bara lantara nilai keekonomian jauh lebih besar dibandingkan harga supply batu bara kepada PLN yang dipandang kecil.
"Pertanyaannya, kenapa pemegang IUP atau PKP2B itu tidak memasok DMO? Nah, dasarnya mereka mementingkan ekspor yang harganya lebih tinggi daripada harga DMO yang lebih rendah," ungkap Fabby.
Tak hanya itu, faktor utama terjadinya krisis Jenis bahan bakar lokomotif uap itu juga didorong oleh realisasi DMO di internal BUMN di sektor ketenagalistrikan itu sendiri. Fabby memandang, DMO lebih mudah didiskusikan daripada dilaksanakan.
Dalam hitungannya, produsen batu bara tidak semuanya memproduksi batu bara yang sesuai dengan spesifikasi pembangkit PLN. Sebagian besar pembangkit batu bara PLN menggunakan kalori rendah atau di level 4.200. Sementara, ada sejumlah produsen yang tidak memproduksi kalori rendah atau memproduksi kalori yang lebih tinggi dari kebutuhan pembangkit PLN.
"Lalu juga, kalau kita lihat pemegang IUP itu ada ribuan, izin usaha pertambangan. Kan tidak semua produksi batu baranya itu angkanya jutaan ton, ada yang hanya beberapa ribu ton dalam 1 bulan. Nah, kalau itu hanya 25% dan dialokasikan, itu kalau disuruh kirim sendiri yah mahal lho karena dia kecil volume produksinya," tuturnya.
Perkara itu, menyebabkan persoalan logistik di internal produsen. Menurut dia, kendala logistik membuat produsen batu bara sulit merealisasikan DMO 25%. Meski begitu, pelaksanaan DMO yang memperhatikan loading facility atau pengumpulan bisa mendorong realisasi DMO.
"Di sisi PLN, memang PLN tidak menyediakan loading facility, sementara karakteristil setiap pembagkit juga berbeda-beda kan, nah ini secara detail harus diatur dan disiapkan oleh pemerintah atau PLN yang harus memikirkan itu juga," ungkap dia. (TYO)