"Kita tidak bicara soal bailout atau yang lain-lain. Kalau permasalahan hukumnya di kasasi Sritex menang skemanya nanti seperti apa, kalau Sritex kalah kasasi hingga PK langkahnya akan berbeda nanti. Tetapi belum bisa saya sampaikan. Yang pasti pemerintah sudah siap dengan segala kemungkinan penyelesaian hukumnya, tapi kembali lagi bahwa saya berharap kepada homologasi," tuturnya.
Adapun keputusan kepailitan Sritex tertuang dalam putusan perkara Pengadilan Negeri (PN) dengan nomor 2/Pdt.Sus- Homologasi/2024/PN Niaga Smg.
Dalam kasus ini, pihak pemohon pailit menyebutkan bahwa Sritex lalai memenuhi kewajiban pembayarannya. Perusahaan tekstil yang telah beroperasi selama 36 tahun tersebut telah mengalami masalah keuangan sejak tahun lalu, ketika utang telah melampaui aset.
Sritex diketahui memiliki utang dengan total mencapai hampir USD1,6 miliar atau setara Rp25 triliun. Melansir laporan keuangan perusahaan, hingga 30 Juni 2024 Sritex memiliki utang sebesar USD1,6 miliar, yang terdiri dari utang jangka panjang sebesar USD1,47 miliar (Rp23 triliun) dan utang jangka pendek sebesar USD131,42 juta (Rp2 triliun).
Dari total utang tersebut, sekitar 51,8 persen merupakan utang bank, yakni mencapai USD810 juta atau setara Rp12,7 triliun, dengan dominasi utang diberikan oleh PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) atau BCA sebesar USD82 juta atau sekitar Rp1,28 triliun.
Sritex mengungkapkan penyebab utamanya yang melilit perseroan yaitu turunnya penjualan di industri tekstil. Kondisi geopolitik perang Rusia-Ukraina serta Israel-Palestina menyebabkan terjadinya gangguan supply chain dan penurunan ekspor karena adanya pergeseran prioritas oleh masyarakat di Eropa maupun AS.
Alasan kedua yaitu lesunya industri tekstil terjadi karena banjir produk tekstil di China. Hal ini menyebabkan terjadinya dumping harga, di mana produk-produk berharga lebih murah dan menyebar ke negara-negara yang longgar aturan impornya, salah satunya Indonesia.
Penyebab ketiga karena adanya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Aturan tersebut dituding jadi biang kerok yang menyebabkan industri tekstil dalam negeri sengsara.
(Febrina Ratna)