IDXChannel - Nilai tukar rupiah di 2024 masih beresiko terdepresiasi akibat beberapa negara maju mendorong berbagai bank sentral untuk menjaga rezim tingkat suku bunga higher-for-longer.
Imbasnya, BI terpaksa untuk secara aktif melakukan intervensi di pasar valuta asing dan bahkan menaikkan tingkat suku bunga acuan untuk meredam fluktuasi nilai tukar.
"Di 2024, kami berpandangan bahwa ruang untuk BI melakukan pelonggaran kebijakan moneter akan sangat dipengaruhi oleh posisi yang diambil oleh the Fed. Apabila the Fed melanjutkan untuk menahan tinggi tingkat suku bunga acuannya, maka BI kemungkinan juga harus mengambil langkah serupa untuk menjaga spread suku bunga acuan," demikian riset LPEM FEB UI dalam Indonesia Economic Outlook 2024 yang dikutip Selasa (21/11/2023).
Dalam skenario ini, tingginya suku bunga kredit akan memberikan tekanan pada pertumbuhan kredit di 2024.
Lebih lanjut, kebijakan moneter kontraktif yang diadopsi berbagai bank sentral dunia memicu perlambatan permintaan global dan menekan harga komoditas. Hal ini berpotensi memiliki implikasi lanjutan terhadap Indonesia pada aspek perdagangan seiring tingginya ketergantungan ekspor terhadap harga komoditas.
Lalu, depresiasi yang berkelanjutan juga menimbulkan risiko inflasi impor. Mengingat 90% dari impor Indonesia adalah bahan baku dan barang modal, depresiasi akan meningkatkan ongkos produksi domestik, membahayakan performa sektor manufaktur yang akan mempengaruhi
pertumbuhan investasi ke depannya.
Kombinasi dari arus modal keluar dan penurunan neraca perdagangan di tahun depan juga menimbulkan risiko naiknya defisit transaksi berjalan.
"Secara keseluruhan, kami melihat PDB Indonesia akan tumbuh sebesar 5,1% (y.o.y) dii 2024, cukup stabil dibandingkan revisi perkiraan kami untuk 2023 (5,0% - 5,1%)," tulis riset tersebut. (NIA)