sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Fondasi Startup Ringkih, Potret Suram Industri Tekno di Fenomena Bakar Uang

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
03/02/2023 07:00 WIB
Gelombang yang menghantam sektor teknologi, utamanya startup telah dimulai sejak awal 2022 lalu.
Fondasi Startup Ringkih, Potret Suram Industri Tekno di Fenomena Bakar Uang. (Foto: MNC Media)
Fondasi Startup Ringkih, Potret Suram Industri Tekno di Fenomena Bakar Uang. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Kabar mengenai tutupnya JD.ID menjadi babak baru drama sektor teknologi di Asia Tenggara. Startup e-commerce yang merupakan anak usaha JD.com asal China ini resmi akan menutup layanannya per 31 Maret mendatang.

Mengutip SCMP (29/1/2023), bahwa induk JD.ID memilih menarik diri dari pasar Indonesia dan Thailand karena berhadapan dengan lambatnya pertumbuhan penjualan.

Tak hanya JD.ID, PT Evi Asia Tenggara, atau yang lebih dikenal sebagai CoHive, startup co-working space juga resmi ditetapkan bangkrut alias pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Dari sektor Fintech, kasus dugaan gagal bayar PT Tani Fund Madani Indonesia atau TaniFund kepada peminjamnya kembali berlanjut.

Platform peer-to-peer (P2P) lending ini dilaporkan oleh para investor atau lender ke Bareskrim Polri.

Pada akhir 2022 lalu, TaniFund sedang menghadapi permasalahan gagal bayar kepada investornya yang berjumlah sekitar 128 investor dengan total nilai investasi sebesar kurang lebih Rp14 miliar.

Melalui kuasa hukum pelapor, TaniFund disebut membukukan tingkat kredit macet yang tinggi. Dalam hal ini, TaniFund melaporkan TBK90, yaitu tingkat keberhasilan bayar peminjam dalam jangka waktu 90 hari, hanya 36,07%.

Gelombang yang menghantam sektor teknologi, utamanya startup telah dimulai sejak awal 2022 lalu. Kondisi ini semakin sulit akibat ketidakpastian ekonomi global yang saat ini mengintai.

Melambatnya Pendanaan, Berakhirnya Era Bakar Uang

Kinerja startup atau perusahaan rintisan di Asia Tenggara sempat meroket ketika berada di situasi pandemi Covid-19.

Berdasarkan data Statista, bahkan sebanyak 70% pendanaan startup di Asia Tenggara dialokasikan ke Indonesia pada 2020. Banyak startup yang dianggap ‘sukses’ dan memikat hati para venture capital, sebutan bagi investor startup. (Lihat grafik di bawah ini.)

Beberapa nama pemberi modal startup di Asia Tenggara di antaranya 500 Startups, Wavemaker Partners, Partech, East Ventures, CyberAgent Capital, Gobi Partners, Golden Gate Ventures, SGInnovate, Global Founders Capital, Insignia Ventures Partners, Openspace Ventures, Qualgro dan masih banyak lagi.

Namun, perlahan pendanaan startup Asia Tenggara terlihat mulai melambat pada 2022. Dilihat dari nilai kesepakatan yang menyusut sekitar sepertiganya dari tahun sebelumnya.

Dilaporkan Nikkei Asia Review, kondisi ekonomi yang memburuk menyebabkan berkurangnya prospek dan penilaian perusahaan teknologi rintisan yang mencari modal pertumbuhan.

Pada 2021, nilai total pendanaan sempat menyentuh rekor USD25,75 miliar.

Di tahun itu, beberapa startup terbesar di kawasan ini seperti Grab di Singapura melakukan penawaran perdana di bursa saham atau go public.

Namun, sepanjang 2022, guncangan geopolitik dan kenaikan suku bunga yang agresif membawa perusahaan teknologi ke jurang kerugian.

Menurut South East Asia Deal Review yang dirilis DealStreetAsia, pada 2022, startup di kawasan ini mengumpulkan total pendanaan hanya mencapai USD17,79 miliar pada saham dan debt funding, turun 31% dari tahun sebelumnya. Namun, jumlah transaksi saham disebut naik 9,6% menjadi 1.062.

"Asia Tenggara mengakhiri tahun 2022 dengan catatan rendah karena hambatan ekonomi makro dan jatuhnya harga saham yang memaksa investor untuk mengerem pendanaan," kata laporan yang ditulis DealStreetAsia, Selasa (1/2).

Sebenarnya, melambatnya tren kucuran dana startup dari para venture capital ini telah dimulai pada awal tahun lalu.

Sementara perlambatan terlihat signifikan memasuki kuartal Oktober hingga Desember 2022. Total hasil pendanaan saham turun menjadi USD2,88 miliar dan menjadi nilai kesepakatan triwulanan terendah dalam dua tahun terakhir.

"Banyak perusahaan rintisan sedang mempertaruhkan kelangsungan hidupnya. Tahun ini akan terjadi penurunan pasar dan bahkan beberapa bisnis akan mati, sementara yang lain akan diakuisisi oleh saingan yang memiliki uang lebih banyak," imbuh laporan tersebut.

Di Asia Tenggara, sektor pembayaran digital dan layanan keuangan atau fintech diperkirakan menjadi sektor yang akan terus berkembang. Sektor fintech di kawasan ini pada tahun 2030 diperkirakan akan mencapai USD2 triliun berdasarkan nilai transaksi, menurut studi oleh Google, Temasek Holdings, dan Bain & Co.

Sementara e-commerce menjadi sektor yang paling banyak didanai kedua di Asia Tenggara sepanjang 2022.

Sektor ini memperoleh pendanaan mencapai USD3,55 miliar karena belanja lintas batas terus tumbuh meskipun permintaan lebih lemah.

Lazada, e-commerce berbasis di Singapura, yang juga menduduki peringkat pertama dalam nilai kesepakatan investasi keseluruhan kawasan, mengumpulkan pendanaan USD1,68 miliar termasuk dari perusahaan induknya Alibaba Group Holding.

Di Vietnam, Lazada bermitra dengan Grup Masan, perusahaan milik konglomerat lokal dengan investasi sebesar USD400 juta di unit ritel konsumen terintegrasi milik konglomerat tersebut. Investasi dilakukan melalui konsorsium yang dipimpin Alibaba.

Sementara dengan indikator pertumbuhan Gross Merchandise Value (GMV) sekitar 22% YoY, ekonomi digital Indonesia ditaksir akan bernilai USD77 miliar pada 2022 dan diproyeksi akan mencapai USD130 miliar pada 2025, terutama didorong oleh e-commerce.

Namun, nilai pendanaan swasta turun USD2 miliar YoY pada kuartal satu tahun lalu karena investor memprioritaskan profitabilitas dan menghadapi kekhawatiran seputar valuasi perusahaan tahap akhir. (Lihat grafik di bawah ini.)

Dengan kondisi ini, para startup sudah tidak bisa lagi leluasa melakukan aksi bakar uang seperti saat awal kemunculan mereka.

Langkah yang dapat dilakukan para pelaku startup ini di antaranya efisiensi biaya seperti penutupan unit bisnis hingga pengurangan insentif, efisiensi beban pegawai, penutupan bisnis yang kurang prospektif, hingga pengurangan insentif dan diskon.

Sehingga tidak mengherankan jika banyak sektor ini berguguran satu persatu. Termasuk di antaranya, akibat pemoborosan dan fondasi perusahaan yang rapuh.

Pentingnya Fondasi Berupa Ketahanan Kas

Bak bangunan, hal terpenting dari menjalankan sebuah bisnis adalah fondasi yang kokoh. Namun, hal ini sering tak difikirkan oleh para pemangku kebijakan, termasuk startup. Salah satunya adalah tentang runaway atau ketahanan kas.

Runway merupakan kondisi fondasi keuangan menunjukkan berapa tahun kas dan short term investment perusahaan bisa menutup kerugian dalam kuartal terakhir setiap tahunnya.

Menurut laporan Stockbit Academy, runway yang cukup dan injeksi modal menjadi dua hal penting untuk bisa bertahan hingga berhasil profit. Cash dan short term investment yang dimiliki 4 dari 5 perusahaan utama di ASEAN hanya bisa menutupi operasional selama 1 hingga 5 tahun ke depan, dengan asumsi kerugian pada kuartal tiga tahun lalu.

Hingga Q3 2022, Bukalapak (BUKA), e-commerce RI yang telah melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) memiliki estimasi runaway tertinggi mencapai 18,9 tahun.

Artinya, BUKA masih mampu mempertahankan bisnisnya hingga 18 tahun tersebut dalam keadaan merugi pada kuartal 3 2022. Sementara itu, hasil merger antara e-commerce Tokopedia dan jasa ride hailing Gojek, Goto (GOTO) hanya memiliki ketahanan kas 1,2 tahun saja. (Lihat grafik di bawah ini.)

Dalam hal ini, funding atau pendanaan masih sangat menentukan keberlanjutan startup. Namun, pelaku bisnis selama ini mendapatkan pendanaan dengan dua cara umum, yakni dengan melakukan pinjaman dan penerbitan saham anyar via right issue atau private placement bagi perusahaan yang sudah IPO.

Cara pertama menjadi sangat sulit dilakukan ditengah kondisi ekonomi makro yang serba sulit, apalagi kenaikan suku bunga yang membebani utang. Selain itu, butuh jaminan asset yang digunakan untuk mencairkan dana.

Sementara rights issue atau private placement saat ini juga dilanda tantangan makroekonomi di mana investor pra-IPO juga dilanda ketidakpastian di tengah risiko tech burst.

Di tengah lesunya pendanaan startup dari para venture capital, nampaknya para startup akan menghadapi ekosistem yang semakin sulit.

Sementara margin laba operasional atawa Operating Profit Margin (OPM) para startup tersebut menunjukkan performa kurang memuaskan sepanjang tahun lalu. SEA Ltd, perusahaan induk Shopee mencatatkan OPM negative 15,7%, sementara OPM GOTO anjlok paling dalam sebesar minus 152,6%.

Sebagai informasi, OPM adalah proporsi keuntungan atau kerugian operasional dibandingkan pendapatan perusahaan.

Sebagai perusahaan rintisan, butuh waktu bagi para startup ini untuk bisa meraih keuntungan. Sebagai perbandingan, JD.com memebutuhkan waktu 21 tahun dari saat berdirinya hingga dapat meraih keuntungan. Amazon butuh waktu 9 tahun untuk dapat cuan, dan Alibaba butuh 3 tahun untuk meraih keuntungan.

Jika belajar dari kondisi startup di Amerika Serikat (AS), khususnya e-commerce, dari semua perusahaan yang diakuisisi atau sebanyak 43% dari total, sekitar  67% di antaranya diakuisisi di bawah harga IPO.

Sementara e-commerce dengan status masih publik atau sekitar 34% dari total, sebanyak 62% di antaranya memiliki performa di bawa standar indeks saham S&P 500. Sisanya, sebanyak 23% lainnya sudah bangkrut atau delisting dan terlikuidasi.

Hal ini menunjukkan, bahwa selama ini banyak startup yang dibangun dengan miskalkulasi bisnis. Ibarat bangunan, tidak dibangun dengan fondasi yang kokoh.

Realitas inilah yang membuat banyak startup akhirnya melakukan PHK bahkan menyatakan bangkrut.

Sebagai contoh, kinerja JD.com yang kurang baik sempat membuat sang pendiri Richard Liu marah besar. Ia menilai para petinggi JD.com bekerja tidak becus.

Dikutip dari SCMP, Senin (9/1/2023), kemarahan Liu memuncak karena para eksekutif ini menggunakan slide Power Point sebagai senjata menutupi bobrok dalam mengelola bisnis.

Di tengah ketidakpastian sektor tekno di tahun ini, riset BRI Danareksa (24/1/23) menyebutkan, perusahaan tekno ini masih memiliki waktu untuk membangun skala bisnis dan mengamankan likuiditas yang cukup.

Para startup ini juga harus mendapatkan keuntungan dan memperbaiki bottom line (pos laba-rugi) dari konsolidasi pasar teknologi tanpa adanya pendanaan baru, dan kemampuan untuk menetapkan biaya yang lebih tinggi kepada pedagang dan konsumen. Tahun ini sepertinya bukan tahun yang mudah bagi kebanyakan startup. (ADF)

Halaman : 1 2 3
Advertisement
Advertisement