Artinya, BUKA masih mampu mempertahankan bisnisnya hingga 18 tahun tersebut dalam keadaan merugi pada kuartal 3 2022. Sementara itu, hasil merger antara e-commerce Tokopedia dan jasa ride hailing Gojek, Goto (GOTO) hanya memiliki ketahanan kas 1,2 tahun saja. (Lihat grafik di bawah ini.)
Dalam hal ini, funding atau pendanaan masih sangat menentukan keberlanjutan startup. Namun, pelaku bisnis selama ini mendapatkan pendanaan dengan dua cara umum, yakni dengan melakukan pinjaman dan penerbitan saham anyar via right issue atau private placement bagi perusahaan yang sudah IPO.
Cara pertama menjadi sangat sulit dilakukan ditengah kondisi ekonomi makro yang serba sulit, apalagi kenaikan suku bunga yang membebani utang. Selain itu, butuh jaminan asset yang digunakan untuk mencairkan dana.
Sementara rights issue atau private placement saat ini juga dilanda tantangan makroekonomi di mana investor pra-IPO juga dilanda ketidakpastian di tengah risiko tech burst.
Di tengah lesunya pendanaan startup dari para venture capital, nampaknya para startup akan menghadapi ekosistem yang semakin sulit.
Sementara margin laba operasional atawa Operating Profit Margin (OPM) para startup tersebut menunjukkan performa kurang memuaskan sepanjang tahun lalu. SEA Ltd, perusahaan induk Shopee mencatatkan OPM negative 15,7%, sementara OPM GOTO anjlok paling dalam sebesar minus 152,6%.
Sebagai informasi, OPM adalah proporsi keuntungan atau kerugian operasional dibandingkan pendapatan perusahaan.
Sebagai perusahaan rintisan, butuh waktu bagi para startup ini untuk bisa meraih keuntungan. Sebagai perbandingan, JD.com memebutuhkan waktu 21 tahun dari saat berdirinya hingga dapat meraih keuntungan. Amazon butuh waktu 9 tahun untuk dapat cuan, dan Alibaba butuh 3 tahun untuk meraih keuntungan.
Jika belajar dari kondisi startup di Amerika Serikat (AS), khususnya e-commerce, dari semua perusahaan yang diakuisisi atau sebanyak 43% dari total, sekitar 67% di antaranya diakuisisi di bawah harga IPO.
Sementara e-commerce dengan status masih publik atau sekitar 34% dari total, sebanyak 62% di antaranya memiliki performa di bawa standar indeks saham S&P 500. Sisanya, sebanyak 23% lainnya sudah bangkrut atau delisting dan terlikuidasi.
Hal ini menunjukkan, bahwa selama ini banyak startup yang dibangun dengan miskalkulasi bisnis. Ibarat bangunan, tidak dibangun dengan fondasi yang kokoh.
Realitas inilah yang membuat banyak startup akhirnya melakukan PHK bahkan menyatakan bangkrut.
Sebagai contoh, kinerja JD.com yang kurang baik sempat membuat sang pendiri Richard Liu marah besar. Ia menilai para petinggi JD.com bekerja tidak becus.
Dikutip dari SCMP, Senin (9/1/2023), kemarahan Liu memuncak karena para eksekutif ini menggunakan slide Power Point sebagai senjata menutupi bobrok dalam mengelola bisnis.
Di tengah ketidakpastian sektor tekno di tahun ini, riset BRI Danareksa (24/1/23) menyebutkan, perusahaan tekno ini masih memiliki waktu untuk membangun skala bisnis dan mengamankan likuiditas yang cukup.
Para startup ini juga harus mendapatkan keuntungan dan memperbaiki bottom line (pos laba-rugi) dari konsolidasi pasar teknologi tanpa adanya pendanaan baru, dan kemampuan untuk menetapkan biaya yang lebih tinggi kepada pedagang dan konsumen. Tahun ini sepertinya bukan tahun yang mudah bagi kebanyakan startup. (ADF)