IDXChannel - Kabar mengenai tutupnya JD.ID menjadi babak baru drama sektor teknologi di Asia Tenggara. Startup e-commerce yang merupakan anak usaha JD.com asal China ini resmi akan menutup layanannya per 31 Maret mendatang.
Mengutip SCMP (29/1/2023), bahwa induk JD.ID memilih menarik diri dari pasar Indonesia dan Thailand karena berhadapan dengan lambatnya pertumbuhan penjualan.
Tak hanya JD.ID, PT Evi Asia Tenggara, atau yang lebih dikenal sebagai CoHive, startup co-working space juga resmi ditetapkan bangkrut alias pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Dari sektor Fintech, kasus dugaan gagal bayar PT Tani Fund Madani Indonesia atau TaniFund kepada peminjamnya kembali berlanjut.
Platform peer-to-peer (P2P) lending ini dilaporkan oleh para investor atau lender ke Bareskrim Polri.
Pada akhir 2022 lalu, TaniFund sedang menghadapi permasalahan gagal bayar kepada investornya yang berjumlah sekitar 128 investor dengan total nilai investasi sebesar kurang lebih Rp14 miliar.
Melalui kuasa hukum pelapor, TaniFund disebut membukukan tingkat kredit macet yang tinggi. Dalam hal ini, TaniFund melaporkan TBK90, yaitu tingkat keberhasilan bayar peminjam dalam jangka waktu 90 hari, hanya 36,07%.
Gelombang yang menghantam sektor teknologi, utamanya startup telah dimulai sejak awal 2022 lalu. Kondisi ini semakin sulit akibat ketidakpastian ekonomi global yang saat ini mengintai.
Melambatnya Pendanaan, Berakhirnya Era Bakar Uang
Kinerja startup atau perusahaan rintisan di Asia Tenggara sempat meroket ketika berada di situasi pandemi Covid-19.
Berdasarkan data Statista, bahkan sebanyak 70% pendanaan startup di Asia Tenggara dialokasikan ke Indonesia pada 2020. Banyak startup yang dianggap ‘sukses’ dan memikat hati para venture capital, sebutan bagi investor startup. (Lihat grafik di bawah ini.)
Beberapa nama pemberi modal startup di Asia Tenggara di antaranya 500 Startups, Wavemaker Partners, Partech, East Ventures, CyberAgent Capital, Gobi Partners, Golden Gate Ventures, SGInnovate, Global Founders Capital, Insignia Ventures Partners, Openspace Ventures, Qualgro dan masih banyak lagi.
Namun, perlahan pendanaan startup Asia Tenggara terlihat mulai melambat pada 2022. Dilihat dari nilai kesepakatan yang menyusut sekitar sepertiganya dari tahun sebelumnya.
Dilaporkan Nikkei Asia Review, kondisi ekonomi yang memburuk menyebabkan berkurangnya prospek dan penilaian perusahaan teknologi rintisan yang mencari modal pertumbuhan.
Pada 2021, nilai total pendanaan sempat menyentuh rekor USD25,75 miliar.
Di tahun itu, beberapa startup terbesar di kawasan ini seperti Grab di Singapura melakukan penawaran perdana di bursa saham atau go public.
Namun, sepanjang 2022, guncangan geopolitik dan kenaikan suku bunga yang agresif membawa perusahaan teknologi ke jurang kerugian.
Menurut South East Asia Deal Review yang dirilis DealStreetAsia, pada 2022, startup di kawasan ini mengumpulkan total pendanaan hanya mencapai USD17,79 miliar pada saham dan debt funding, turun 31% dari tahun sebelumnya. Namun, jumlah transaksi saham disebut naik 9,6% menjadi 1.062.
"Asia Tenggara mengakhiri tahun 2022 dengan catatan rendah karena hambatan ekonomi makro dan jatuhnya harga saham yang memaksa investor untuk mengerem pendanaan," kata laporan yang ditulis DealStreetAsia, Selasa (1/2).