Atas kenaikan itu, petani petani merasa senang."Alhamudilah harga sawit terus. Tapi biasa harga pupuk akan semakin tinggi," kata petani Rumbai, Pekanbaru Aidel.
Sementara itu Wakil Ketua Umum Sawitku Masa Depanku (Samade), Abdul Aziz mengatakan ada sejumlah pihak yang justru tertekan dengan kondisi ini. Apa lagi, dengan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) saat ini.
Aziz menyebut kebijakan DMO dan DPO itu mengharuskan korporasi memasok 20 persen CPO ke dalam negeri dengan harga Rp 9.300/kg. Selian itu, dalam kebijakan tersebut juga diatur harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng sebesar Rp14 ribu perliter. Dengan kondisi harga CPO yang tinggi saat ini, tentu korporasi harus hitung hitungan untuk bisa tetap untung.
"Semakin baik harga CPO otomatis semakin menjadi bumerang bagi perusahaan-perusahaan yang arus memenuhi DMO dan DPO itu. Sebab rentang harga jual CPO dan subsidi yang musti dilakukan perusahaan akan makin lebar. Kenyataan-kenyataan seperti ini harus dipikirkan," kata Aziz di Pekanbaru.
Dalam dunia bisnis, sektor usaha tentunya tidak mau rugi. "Bisnis tentu tidak mau rugi. DMO dan DPO itu dimulai saat harga CPO masih di angka Rp 15 ribu dan kemarin per 1 Maret harga CPO sudah Rp 18.250 perkilogram. Nah kalau dikaitkan dengan pembuatan minyak goreng, berarti modal membuat minyak goreng itu bisa-bisa sudah Rp Rp 21 ribu namun harus dijual senilai Rp 14.000 perkilogram, berarti kan korporasi sudah tekor Rp7 ribu. Itupun jika hasil pengolahan sekilogram CPO bisa menjadi sekilogram minyak goreng. Kalau hanya menjadi 0,7 kilogram migor gimana? Berarti kerugian perusahaan akan semakin besar,"imbuh Aziz.