Sedangkan opsi kedua, menurut Gulat, jika beban hanya BK dan PE tidak ada DMO/DPO, dimana BK diturunkan dari semula US$288 per ton menjadi US$200 per ton dan PE dari US$200 ditekan menjadi US$150, maka totalnya menjadi US$350, dan harga CPO Domestik Rp15.111 per kilogram CPO dan harga TBS Petani naik menjadi Rp3.200 per kilogram.
Sedangkan opsi ketiga, jika CPO tanpa beban sama sekali, maka harga CPO Indonesia akan sama dengan harga Rotterdam dan harga TBS Petani menjadi Rp.4.050 per kilogram TBS.
"Namun Opsi ketiga ini tidak mungkin lah kami rekomendasikan dipilih pemerintah, karena negara tentu butuh pemasukan dari BK dan BPDP-KS butuh dana dari PE untuk memutar dan menjalankan lima program BPDP-KS," ungkap Gulat.
Maka jika ingin mewujudkan keinginan Presiden Jokowi yaitu minyak goreng rakyat tersedia serta terjangkau sesuai harga HET, maka menurut Gulat, harga TBS Petani harus dibeli dengan harga wajar. Dengan begitu maka perusahaan mendapatkan kepastian dan negara mendapat devisa serta pajak dari kespor CPO dan turunannya. "Dengan demikian, maka tentu opsi kedua adalah yang paling tepat untuk diterapkan saat ini," tegas Gulat. (TSA)