"Memang ini UU HKPD, kita tidak pernah ngatur, itu jadi pajak daerah. Justru di UU PPN kita itu di-exclude tidak dikenakan PPN, karena kita serahkan kepada daerah menjadi objek pajak daerah. Jadi, kita tidak mengatur baik 15 persen apakah mau seperti apa, itu sepenuhnya di sana (di UU HKPD)," jelasnya saat Media Briefing di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Kamis (11/5/2023).
Dalam kesempatan yang sama, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menegaskan, meskipun pajak hiburan diatur dalam UU HKPD, Pemda tetap wajib melaporkan datanya kepada Pemerintah Pusat. Sebab, data-data tersebut nantinya akan dilihat keterkaitannya dengan pajak di sektor lainnya, misalnya dengan sektor pariwisata, transportasi, hingga makanan dan minuman.
"Sebagaimana dilaporkan Ibu Menteri di setiap laporan bulanan memang di sana dilaporkan, jadi berapa perkembangan pajak hiburan itu setiap bulan, ini penting buat kita. Kenapa? Karena di DJP, Pak Dirjen (Pajak) juga melaporkan data pajak untuk sektor-sektor tertentu, seperti sektor pariwisata, transportasi, makanan dan minuman, data itu di DJP juga sangat penting," pungkasnya.
Sebagai informasi, pajak hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan, meliputi semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran, maka subjek pajaknya adalah penikmat hiburan baik itu orang pribadi atau badan yang membayar untuk sebuah hiburan.
Kemudian apabila dilihat dari jenis pengelolaannya, pajak dari penyelenggaraan hiburan masuk ke dalam pajak daerah. Adapun bagian dari pajak daerah, ketentuan pajak hiburan diatur dalam peraturan daerah (perda).
(YNA)