sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Inflasi hingga Stabilitas Pasar, Jalan Terjal Transisi Pemerintahan Pasca Pemilu 2024

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
15/02/2024 18:30 WIB
Indonesia telah melewati pesta demokrasi lima tahunan di hari pencoblosan pemilihan umum (Pemilu) 2024 yang digelar pada Rabu (14/2/2024).
Inflasi hingga Stabilitas Pasar, Jalan Terjal Transisi Pemerintahan Pasca Pemilu 2024. (Foto: MNC Media)
Inflasi hingga Stabilitas Pasar, Jalan Terjal Transisi Pemerintahan Pasca Pemilu 2024. (Foto: MNC Media)

Tantangan Kandidat Terpilih

Ekonom cum Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira menyatakan bahwa transisi pemerintahan pasca pilpres 2024 menyisakan sejumlah tantangan.

“Investor akan tetap melihat beberapa hal. Pertama, investor akan menunggu apakah ada pelaporan ke Mahkamah Konstitusi (MK) bagi mereka yang kalah,”kata Bhima kepada IDX Channel, Kamis (15/2).

Kemudian kedua, Bhima juga memperingatkan investor melihat andaikan Prabowo-Gibran menjabat dari sisi kebijakan dan program populis harus dilihat anggarannya tersedia di tahun pertama menjabat.

Ketiga, situasi yang berat ke depan karena faktor eskternal, seperti perdagangan internasional baik ekspor-impor ditambah tantangan ekonomi global yang melambat bahkan dua tahun ke depan.

“Kondisi ekonomi China yang juga melambat karena krisis properti, konsumsi yang melambat, ritel juga lemah di China, ini pastinya akan memberikan tantangan juga bagi pemerintahan yang baru ke depan,” imbuh Bhima.

Bhima menambahkan, oleh karena itu investor melihat yang paling penting adalah siapa yang akan menduduki jabatan di bidang ekonomi dan melihat koalisi prabowo cukup gemuk, tapi pos-pos penting siapa pengganti Sri Mulyani siapa pengganti Luhut.

“Siapa penggantinya dan kredibilitasnya seperti apa itu jauh lebih penting di mata investor. Oleh karena itu sebenarnya ini adalah situasi yang cukup kompleks,” lanjut Bhima.

Bhima juga menyoroti PR jangka pendek pemerintah baru dan akan menjadi konsen masyarakat adalah stabilitas harga pangan.

“Itu harus menjadi fokus di awal karena instabilitas pangan ini bisa menjadi ancaman hingga 2025. Mengingat stok beras yang turun tajam hingga gula dan kebutuhan pangan lainnya yang meroket, membutuhkan sosok menteri pertanian dan menteri perdagangan yang bisa menyelesaikan semua persoalan itu. Itulah yang akan menjadi fokus pelaku pasar,” pungkas Bhima.

  1. Ekspor Kian Lesu Awal Tahun 2024

Data rilis Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru pada Kamis (15/2/2024) menyebutkan, nilai ekspor Januari 2024 anjlok 8,34 persen di level USD20,52 miliar dibandingkan Desember 2023.

Nilai ekspor migas turun 5,49 persen sebesar USD1,39 miliar, dan ekspor non migas turun 8,54 persen atau USD19,13 miliar. Penyumbang penurunan ekspor adalah sektor non migas dengan penurunan kelompok HS27 dengan andil penurunan sebesar 3,85 persen.

Surplus neraca dagang juga terus melorot memasuki 2024. BPS mencatat RI hanya kedapatan surplus USD2,02 miliar pada Januari 2024. Angka ini turun dibanding bulan sebelumnya yang mencatatkan surplus mencapai USD3,31 miliar. (Lihat grafik di bawah ini.)

  1. Inflasi Pangan

Masyarakat kini juga dihadapkan pada kondisi tingginya harga pangan, terutama beras. Tak hanya harga yang meroket, beras juga mengalami kelangkaan di pasar ritel.

Melansir data Badan Pangan Nasional (Bapanas) per Kamis (15/2) pukul 12.40 WIB, harga pangan pokok strategis, seperti beras, cabai, minyak goreng, daging ayam dan sapi, hingga kedelai masih cukup tinggi.

Terpantau harga beras premium mengalami kenaikan 0,06 persen di level Rp15.900 per kilogram (kg), sementara harga beras medium di level Rp13.950 per kg. Harga cabai rawit merah juga mengalami kenaikan 4,45 persen di level Rp51.210 per kg dan cabai merah keriting naik 2,45 persen di level Rp56.000 per kg. Harga telur ayam juga terpantau naik 0,84 persen di Rp28.680 per kg. Sementara daging merah naik 0,35 persen di Rp134.080 per kg.

Kualitas pertumbuhan ekonomi ke depan juga perlu diuji di tengah stagnasi angka 5 persen yang dicapai dalam 10 tahun terakhir.

Dalam riset Algo Research yang dipublikasikan 14 Februari 2024, usai Jokowi memenangkan pemilu pada 2019, terdapat banyak harapan terhadap kebijakan hilirisasi untuk meningkatkan transaksi berjalan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Namun hal ini tidak terwujud karena pertumbuhan PDB masih sebesar 5 persen dan bukan pertumbuhan 7 persen seperti yang dipromosikan pada masa pilpres dan kampanye 2019. Upaya hilirisasi pemerintah juga tidak menghasilkan konsumsi yang lebih tinggi.

Selain itu, pemerintah mencatat nilai impor beras Indonesia selama Januari 2024 mencapai USD279,2 juta atau Rp4,3 triliun (kurs Rp15.624 per dolar AS).

Nilai impor beras ini meroket 135,1 persen secara tahunan (yoy) dari USD118,7 juta pada Januari 2023. Namun, turun 16,73 persen secara bulanan (mtm).

Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan impor beras mayoritas berasal dari Thailand senilai USD153 juta. Di urutan kedua ada beras dari Pakistan senilai USD79,3 juta, dan yang ketiga dari Myanmar senilai USD23,98 juta.

Halaman : 1 2 3 4
Advertisement
Advertisement