sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Iuran Tapera Jadi Beban Baru buat Kelas Menengah RI

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
30/05/2024 18:30 WIB
Nasib kelas menengah di Indonesia semakin berat di tengah kondisi ekonomi nasional yang penuh tekanan dan ketidakpastian global.
Iuran Tapera Jadi Beban Baru buat Kelas Menengah RI. (Foto: Unsplash)
Iuran Tapera Jadi Beban Baru buat Kelas Menengah RI. (Foto: Unsplash)

Dia menyebut porsi penghasilan yang digunakan untuk membeli kebutuhan primer masih 13,9 persen pada Januari 2023.

Ketika konsumsi makanan melonjak pada bulan puasa dan Lebaran 2023, porsi penghasilan yang digunakan untuk makanan juga masih di angka 16,6 persen.

Namun, pada Mei 2024 ini, porsi penghasilan masyarakat yang dipakai untuk kebutuhan makan dan minum naik hingga 26 persen.

Andry mengatakan data ini menunjukkan masyarakat Indonesia semakin banyak mengalokasikan penghasilannya untuk kebutuhan sehari-hari. Hal itu bisa terjadi karena harga bahan pokok yang naik, sementara pendapatan masyarakat segitu-segitu saja.

"Jadi (pengeluaran) dua kali lipat, sehingga kalau untuk belanja yang secondary relatif terbatas, ini yang akan berpengaruh pada kemampuan belanja barang non-primer," katanya.

Apa Solusinya?

Indonesia harus memiliki pertumbuhan ekonomi minimal 6 persen jika ingin keluar dari middle income trap.

Hal ini disampaikan Amalia Adininggar Widyasanti, Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional yang membidangi perekonomian, sejalan dengan tujuan Indonesia untuk mencapai status negara maju pada 2045.

“Untuk menghindari apa yang disebut jebakan pendapatan menengah, kita perlu mempercepat pertumbuhan ekonomi melampaui angka 5 persen menjadi 6 persen saat ini,” kata Amalia 7 Maret 2024.

Namun, pertumbuhan ekonomi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode kedua di 2019 hingga awal 2024, pertumbuhan rata-rata berada di kisaran 3,5 persen. Kondisi tidak normal sempat terjadi pada 2020-2021, saat Indonesia dilanda pandemi Covid-19. (Lihat grafik di bawah ini.)

Kondisi ini menunjukkan adanya kebingungan antara stabilitas atau progres ekonomi di era pemerintahan Jokowi.

“Negara-negara besar sudah masuk ke jurang resesi, negara lain juga turun growth-nya tapi kita mampu tumbuh di 5,11 persen,” ungkap Presiden Jokowi dalam keterangan pers di Balai Besar Pengujian Perangkat Telekomunikasi (BBPPT), Selasa, 7 Mei 2024.

“Ini saya kira patut kita syukuri karena ini banyak didukung oleh konsumsi, tetapi juga didukung oleh investasi yang terus masuk ke negara kita,” tambahnya.

Sementara, kelas menengah terjebak dalam lingkaran konsumsi di mana yang cukup membebani.

Di samping pengeluaran mereka tak terbatas konsumsi, tapi juga potongan-potongan berupa pajak dan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan di tambah kini wacana iuran Tapera.

Untuk membantu kelas menengah keluar dari jebakan middle income trap, salah satu upaya yang selama ini dilakukan adalah industrialisasi.

Strategi utama dalam meningkatkan persentase masyarakat kelas menengah adalah dengan melakukan transisi pekerja “informal” dari tempat kerja yang tidak diatur ke sektor formal.

Sektor formal, yang diatur oleh upah minimum yang disetujui pemerintah dan menawarkan asuransi kesehatan dan sosial, memberikan jalan menuju stabilitas ekonomi.

Namun, yang terjadi kini ekonomi dalam negeri yang justru mengarah ke deindustrialiasasi. LPEM, dalam laporan Proyeksi Kuartal I-2024 menegaskan adanya tanda-tanda deindustrialisasi dini.

Ini terlihat dari rata-rata pangsa manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di periode kedua pemeritahan Jokowi mencapai level terendah.

Sejak Presiden Jokowi menjabat pada 2014, rata-rata nilai tambah manufaktur adalah sekitar 39,12 persen hingga tahun 2020, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata pada masa Presiden Megawati sebesar 43,94 persen dan Presiden SBY sebesar 41,64 persen.

Kondisi ini memicu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kurang maksimal alias stagnan di kisaran 5 persen.

Deindustrialisasi adalah suatu kondisi dimana industri tidak dapat lagi berperan sebagai basis pendorong utama perekonomian suatu negara atau dengan kata lain kontribusi sektor ini terhadap PDB nasional terus mengalami penurunan.

Sementara pemerintah terkesan belum efektif dalam menghadapi gejala ini.

Sebagai contoh, dalam menghadapi isu penutupan beberapa pabrik manufaktur di dalam negeri, Presiden mengakui bahwa fluktuasi semacam ini adalah bagian dari dinamika pasar yang dipengaruhi oleh kompetisi, efisiensi, dan adaptasi terhadap barang-barang baru.

“Kalau masalah ada pabrik yang tutup, sebuah usaha itu naik turun karena kompetisi, karena mungkin efisiensi, juga karena bersaing dengan barang-barang baru yang lebih inovatif,” jelas Presiden. (ADF)

Halaman : 1 2 3 Lihat Semua
Advertisement
Advertisement