IDXChannel - Kinerja pasar minyak tahun ini cukup diwarnai berbagai drama geopolitik. Kondisi ini disebut akan memengaruhi bagaimana dinamika pasar energi di tahun depan.
Lembaga keuangan Goldman Sachs, misalnya, baru-baru ini mengubah perkiraannya untuk harga minyak mentah jenis Brent pada kuartal I dan kuartal II tahun 2023 menjadi USD90 dan USD95 per barel dari sebelumnya masing-masing di level USD115 dan USD105 per barel.
Sebelumnya, pada November lalu, Goldman Sachs mengatakan Brent akan mencapai rata-rata USD110 per barel pada 2023.
Goldman Sachs menjadi salah satu lembaga yang bersikap bullish dalam meramalkan harga minyak tahun depan.
Alasan utama perkiraan Goldman Sachs tersebut adalah pelonggaran kebijakan Covid China dan prospek penurunan tajam dalam ekspor minyak Rusia setelah embargo Barat.
Di samping itu, mengutip Oilprice.com, beberapa analis seperti Ole Hansen dari Danish Saxo Bank, juga mencatat pengurangan produksi OPEC+ akan mengurangi pasokan minyak mentah yang tersedia secara global dalam beberapa bulan mendatang, sementara permintaan minyak non-Rusia diperkirakan akan meningkat di tengah embargo.
Menurut Forum Energi Internasional, sebuah think-tank energi yang berbasis di Arab Saudi, pasokan minyak Rusia bisa turun antara satu dan tiga juta barel setiap hari karena embargo Barat dan akan berdampak pada harga.
Adapun proyeksi Energy Information Administration (EIA), harga minyak tahun depan diperkirakan dikisaran USD92 per barel. Sementara JP Morgan memproyeksi minyak akan mencapai USD90 per barel yang juga turun dari perkiraan sebelumnya sebesar USD98.
Menurut perkiraan EIA, persediaan minyak global akan turun 0,2 juta barel per hari pada paruh pertama 2023, sebelum naik hampir 0,7 juta barel per hari di paruh kedua tahun depan.
Prakiraan ini membuat persediaan minyak global lebih tinggi pada akhir tahun 2023 daripada perkiraan November lalu.
Kondisi ini juga berdampak pada perkiraan harga minyak mentah Brent menjadi rata-rata USD92 per barel, lebih rendah USD3 per barel dari perkiraan EIA sebelumnya.
Mengutip Investing.com, berikut ini adalah beberapa faktor yang bisa mendorong harga minyak kembali bergairah.
- Berakhirnya Kebijakan Zero-Covid-19 China
China diketahui telah melonggarkan kebijakan pembatasan akibat kasus Covid yang terus melesar beberapa waktu terakhir. Kondisi ini diyakini akan meningkatkan permintaan energi, termasuk minyak mentah pada paruh kedua tahun depan dan dapat mendorong harga minyak global lebih tinggi.
- SPR AS Kembali Penuh
Diketahui bahwa Amerika Serikat (AS) memiliki Strategic Petroleum Reserve (SPR) atau Cadangan Minyak Strategis. Ini adalah persediaan darurat minyak bumi yang dikelola oleh Departemen Energi AS. SPR menjadi tanki pasokan darurat terbesar yang diketahui publik di dunia dengan tangki bawah tanahnya terletak di Louisiana dan Texas serta memiliki kapasitas 714 juta barel.
Diketahui Gedung Putih berencana mengisi kembali tangka minyaknya setelah sempat melakukan penjualan dalam skala besar di akhir tahun ini.
Pemerintah AS ingin mengisi tangki minyak SPR AS dengan harga dikisaran USD65 hingga USD70 per barel. Kondisi inini bisa menjadi kesepakatan yang bagus bagi banyak perusahaan minyak untuk menjual minyaknya yang takut akan harga yang rendah pada tahun 2023.
Mengingat aksi pembelian pemerintah AS ini, ada kemungkinan bahwa permintaan tambahan dapat membantu mengangkat harga secara keseluruhan.