sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Jokowi sampai Bahlil Ramai-Ramai Bilang 2023 ‘Gelap’, Ada Apa Gerangan?

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
07/10/2022 14:35 WIB
Di tengah indeks kepercayaan konsumen (IKK) Tanah Air yang sedang membaik, narasi akan resesi 2023 bisa saja menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran secara luas.
Jokowi sampai Bahlil Ramai-Ramai Bilang 2023 ‘Gelap’, Ada Apa Gerangan? (Foto: MNC Media)
Jokowi sampai Bahlil Ramai-Ramai Bilang 2023 ‘Gelap’, Ada Apa Gerangan? (Foto: MNC Media)

Belajar Dari Krisis 2008

Setidaknya, Indonesia telah mengalami enam krisis ekonomi. Dua krisis parah terjadi pada pertengahan 1960-an, dua krisis ringan pada 1980-an, satu krisis 1997-1998, ditambah krisis keuangan global pada 2008.

Dampak krisis keuangan global 2008 tercermin dari beberapa indikator di Indonesia, seperti depresiasi nilai tukar dan penurunan pasar saham. Dua ukuran itu masih belum terlalu terasa saat ini di Indonesia, meskipun beberapa negara sudah merasakannya.

Untuk menyebut kasus teranyar dampak dari era suku bunga tinggi, Jepang, misalnya, nilai tukar yen terhadap dolar sempat jeblok ke level terendah. Juga ada Inggris yang bursa sahamnya juga terdampak wacana kebijakan pemotongan pajak rezim Liz Truss.

Ekonom dan mantan Menteri Keuangan era SBY, Chatib Basri dalam Tale of Two Crises: Indonesia's Political Economy menjelaskan, kenapa Indonesia berhasil lolos dari krisis keuangan 2008.

Nilai tukar rupiah sempat anjlok hingga 30% pada akhir 2008, sedangkan Indeks Pasar Modal Indonesia (IHSG) mengalami pelemahan hingga 50% di tahun yang sama. Pertumbuhan kredit perbankan juga mengalami penurunan signifikan dari 32% menjadi hanya 10%.

Selain itu, kepercayaan perbankan menurun, terlihat dari mengecilnya ukuran pinjaman antar bank, turun 59,3% menjadi Rp83,8 triliun dari Rp206,0 triliun pada Desember tahun sebelumnya di akhir 2008.

Keinginan perbankan untuk memperluas basis pendanaan, ditambah lagi dengan kenaikan suku bunga antarbank, menambah tajamnya persaingan antarbank.

Menurut Chatib Basri, Indonesia selamat dari krisis keuangan global berkat dua faktor, yakni kebijakan yang baik dan keberuntungan.

Beberapa kebijakan pemerintah berhasil membendung dampak krisis 2008 di antaranya kebijakan moneter dengan menekan suku bunga menjadi 300 basis poin dari 9,5 persen menjadi 6,5 persen. Likuiditas juga dilonggarkan.

Di sisi kebijakan fiskal, pemerintah berfokus pada stimulus fiscal, defisit anggaran diperbesar dan pajak diturunkan.

Di sisi perbankan, regulasi untuk sektor ini relatif diperketat. Nilai non performance loan (NPL) ratio atau rasio kredit macet diatur kurang dari 4 persen, Loan to Deposit Ratio (LDR) mencapai 77 persen, dan CAR atau rasio kecukupan modal untuk mengatasi risiko kerugian sekitar 17 persen.

Penjaminan simpanan meningkat dari Rp100 juta menjadi Rp2 miliar per rekening. Rezim perdagangan yang relatif terbuka dan terlindungi. Serta fleksibilitas rezim nilai tukar di mana pelaku ekonomi sudah terbiasa dengan perubahan risiko nilai tukar.

Singkatnya, jika tahun depan memang akan terjadi krisis, setidaknya pemerintah perlu bersiap ekstra lan waspada. Ini demi menjaga progress pemulihan ekonomi setelah dihantam pandemi Covid-19 sejak Maret 2020. (ADF)

Halaman : 1 2 Lihat Semua
Advertisement
Advertisement