Bukalapak menyusul di urutan ketiga dengan valuasi sebesar USD3,5 miliar. Sementara, valuasi yang dimiliki Traveloka dan OVO masing-masing mencapai USD3 miliar dan USD2,9 miliar.
Bukalapak dan GoTo bahkan telah melantai di bursa dengan kode emiten BUKA dan GOTO. Sayangnya, meski bervaluasi tinggi, kinerja bottom line (pos laba) positif emiten ini tidak diiringi dengan kinerja saham yang baik.
Ambil contoh, data Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan, performa saham BUKA sepanjang tahun ini tidak menggembirakan.
Sejak awal tahun hingga Selasa (27/9) atau year-to-date (YtD), harga saham BUKA sudah anjlok 33,95 persen ke posisi Rp284 per saham.
Penurunan tersebut menempatkan saham BUKA di deretan 20 besar saham top losers tahun ini.
Sejak melantai di bursa pada 6 Agustus tahun lalu di harga penawaran perdana (IPO) Rp850/saham, cenderung bergerak merosot hingga saat ini.
Sementara itu, PT Macquarie Sekuritas Indonesia menyematkan predikat outperform untuk saham GOTO. Istilah outperform digunakan untuk saham-saham yang kenaikan harganya diperkirakan bisa melebihi indeks harga saham atau biasa juga disebut market outperform.
Berdasarkan riset terbaru Macquarie, saham GOTO dipatok dengan target harga (target price) di level Rp 324/saham.
Singkat kata, data-data di atas menggambarkan ekosistem startup di Indonesia masih cenderung bergantung pada sektor-sektor transportasi, e-commerece dan teknologi.
Sementara sektor pertanian masih belum menemukan tempatnya untuk berkembang. Integrasi dan digitalisasi sektor pertanian menjadi penting untuk terus didukung mengingat sektor ini memiliki potensi ekonomi yang cukup menjanjikan. (ADF)