IDXChannel - Covid-19 varian Omicron dampaknya tidak seganas varian Delta. Namun, berdasarkan data, jumlah kematian di masa Omicron pada Selasa kemarin yang mencapai 257 jita sangat tinggi atau naik 50 kali lipat.
Kementerian Kesehatan RI pada 22 Februari 2022 menyampaikan, total kasus kematian COVID-19 sejak wabah Omicron merebak mencapai 2.484 jiwa. Dari yang meninggal itu, 46 persen memiliki komorbid, dan 54 persen tidak memiliki komorbid. Artinya penyakit memberat sampai menuju kematian memang tidak sepenuhnya karena adanya komorbid.
Disebutkan juga bahwa yang meninggal 53 persen adalah yang lanjut usia (lansia). Data ini kembali menunjukkan bahwa hampir separuh 47 persen yang meninggal bukanlah kelompok umur lansia, jadi ancaman penyakit berat sampai meninggal memang dapat terjadi di berbagai kelompok umur.
Terkait ini, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama menyatakan, hal ini mungkin saja adanyqgabungan antara yang lansia, dengan komorbid, dan belum divaksinasi lengkap pula.
"Memang kita sepenuhnya setuju dengan penjelasan bahwa angka kematian kini jauh lebih rendah daripada waktu varian Delta tahun lalu, tetapi ada dua hal yang perlu diperhatikan," kata Tjandra dalam keterangannya, Rabu (23/2/2022).
Pertama, setiap nyawa yang hilang tentu amat berharga dan tidak dapat tergantikan dengan apapun juga. Kedua, angka kematian terus naik dari hari ke hari.
"Memang tanggal 19, 20 dan 21 Februari angkanya turun dibawah 200 orang, tetapi kemarin 22 Februari 2022 kita tentu berduka cita mendalam dengan wafatnya 257 warga kita, jumlah tertinggi di masa Omicron. Pada 6 Januari 2022 ada 4 warga yang wafat karena COVID-19, jadi sekarang sudah meningkat lebih 50 kali lipat," kata dia.
"Sekali lagi kita sepenuhnya sepakat bahwa jumlah yang wafat ini jauh lebih rendah daripada waktu Delta yang lalu karena memang varian Omicron tidaklah seberat Delta, tetapi dua pertimbangan di atas untuk memandang kematian ini perlu kita resapkan, tidak semata-mata hanya melihat perbandingan angkanya saja," lanjutnya.
Karena itu, Tjandra mengusulkan tiga hal dalam pengendalian kematian ini. Pertama, melakukan analisa mendalam di 4 aspek. Yakni, audit kematian untuk menentukan “cause of death (COD)”, analisa perjalanan penyakit sejak tertular, timbul gejala ringan sampai berat dan meninggal, kemudian jenis varian dan bila mungkin jenisnya (BA.1 atau BA.2 dll), serta menganalisa apakah ada “patient’s delay”, “health service delay” dan kalau ada berapa lama “total delay”.
Kedua, karena BOR sekarang masih sekitar 30 persen dan itupun belum dari kapasitas maksimal maka baiknya sekarang mereka yang ringan tetapi punya risiko menjadi berat sebaiknya dirawat inap di RS saja. "Nanti kalau BOR jauh meningkat maka baru aturan dikembalikan lagi menjadi hanya kasus sedang dan berat," ungkapnya.
Tjandra melanjutkan, usul ketiga meliputi 3 aspek, pembatasan sosial dan perilaku 3/5 M harus tetap dijaga ketat, tes dan telusur terus ditingkatkan secara merata, dan vaksinasi harus terus digalakkan. "Termasuk booster yang sampai 22 Feb 2022 cakupannya baru 4,24 persen," tutupnya. (RAMA)