4. Jepang
Jepang menjadi salah satu corong ekonomi utama Asia. Namun, pukulan ekonomi semenjak pandemi hingga saat ini belum mereda menimpa negeri Sakura.
Untuk kebijakan moneternya, diketahui bahwa Jepang adalah salah satu negara yang tidak menerapkan kebijakan suku bunga hawkish.
Mengutip Bloomberg, Suku bunga yang ditetapkan Bank of Japan (BoJ) berada di bawah nol selama enam tahun, di kisaran -0,1%. Jepang juga belum pernah mengalami kenaikan suku bunga di atas 0,5% sejak 1995.
Target inflasi yang ditetapkan oleh bank sentral juga tidak lebih dari 2%. Namun, pelemahan ekonomi menyebabkan negeri Sakura terjebak dalam kenaikan inflasi signifikan sepanjang tahun ini.
Tingkat inflasi tahunan di Jepang naik menjadi 3,7% pada Oktober 2022. Ini adalah inflasi tertinggi sejak Januari 1991 di tengah tingginya harga komoditas mentah impor dan pelemahan mata uang yen yang terjadi terus menerus.
Tekanan inflasi datang dari semua komponen. Di antaranya makanan sebesar 6,2%, perumahan sebesar 1,1%, biaya bahan bakar, lampu, dan air sebesar 14,6%, listrik sebesar 10,9% dan gas sebesar 20,0%.
Inflasi inti juga naik 3,6% year on year (yoy), terbesar sejak Februari 1982. Angka ini disebut lebih tinggi dari perkiraan 3,5% dan di atas target 2% BoJ untuk tujuh bulan berturut-turut.
Ada dua faktor yang menyebabkan inflasi di Jepang lebih rendah dibanding negara lain. Pertama adalah control kuat negara dalam mengendalikan harga.
Berdasarkan catatan Chatham House, kebijakan kenaikan harga gas dan listrik di Jepang harga hanya bisa terjadi secara bertahap di mana perusahaan utilitas cenderung mengamankan kontrak pasokan jangka panjang, yang pada gilirannya menstabilkan biaya energi.
Kedua, lemahnya permintaan di Jepang. Tokyo mencabut pembatasan aktivitas ekonomi secara lebih bertahap. Ini membantu membatasi inflasi dengan menunda peningkatan permintaan pasca-pandemi yang terjadi di banyak negara lain.
5. China
China sempat menunjukkan pemulihan ekonomi yang lebih kuat dari perkiraan pada triwulan ke-3 tahun ini.
Ekonomi China naik 3,9% yoy di Q3 tahun 2022. Angka ini melebihi konsensus pasar sebesar 3,4% dan meningkat 0,4% dari pertumbuhan di Q2.
Meski demikian, negeri Tirai Bambu sedang berjuang dalam ekonominya. Ekonomi China tahun ini agak tertekan karena kebijakan Zero Covid-19 yang mendorong negeri Tirai Bambu menegakkan kebijakan lockdown.
Kebijakan lockdown akhirnya memicu munculnya gelombang protes sipil yang meluas di berbagai kota besar China. Hal ini semakin memperburuk situasi dan ekonomi.
Inflasi tahunan China turun menjadi 1,6% yoy pada November 2022 dari 2,1% pada bulan sebelumnya. Angka ini adalah angka terendah sejak Maret.
Kebijakan zero Covid ini juga mendorong sejumlah data ekonomi negeri Tirai Bambu menunjukkan pelemahan. Hal ini karena sektor manufaktur di China terpaksa berhenti beroperasi akibat kebijakan ini.
Teranyar, data Indeks manajer pembelian manufaktur resmi atau manufacturing purchasing managers index (PMI) untuk bulan November pada Rabu, (30/11) mengalami perlambatan.
PMI negara Tirai Bambu turun menjadi 48,0 pada bulan ini. Angka ini meleset dari ekspektasi ekonom mencapai 49,0 dan tergelincir jauh di bawah bulan lalu sebesar 49,2. (ADF)