IDXChannel - Tahun ini bisa dikatakan menjadi tahun yang buruk bagi beberapa negara ekonomi utama atau advanced economics dunia.
Pasca-pandemi Covid-19 yang cukup memukul perekonomian dunia, banyak negara yang belum sepenuhnya pulih ekonominya. Namun, kondisi di 2022 masih menunjukkan serangkaian guncangan.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan guncangan ekonomi di negara-negara ekonomi mapan di antaranya karena pecahnya perang Rusia-Ukraina. Selain itu, ketidakstabilan perdagangan internasional akibat melemahnya permintaan dan juga rantai pasok yang terganggu juga menjadi penyebab lain.
Tim Riset IDX Channel merangkum lima negara ekonomi utama yang tahun ini mengalami tekanan ekonomi yang cukup berat. Di antaranya Amerika Serikat (AS), Inggris, Jepang, Jerman, hingga China. (Lihat grafik di bawah ini.)
1. Amerika Serikat (AS)
Negeri Paman Sam menunjukkan kinerja ekonomi yang cukup melambat tahun ini. Inflasi di AS tercatat mengalami kenaikan selama enam bulan pertama tahun 2022.
Di awal tahun 2022, inflasi di AS berada di level 7,5%. Hingga pertengahan tahun, inflasi negeri Paman Sam kembali meroket di angka all-time high sepanjang tahun sebesar 9,1%.
Inflasi AS tertinggi terjadi di bulan Juni dengan presentase mencapai 9,1%. Data bulan ini menunjukkan harga makanan naik 10,4% dalam 12 bulan terakhir hingga Juni 2022. Angka ini menjadi kenaikan terbesar sejak Februari 1981.
Harga makanan takeaway juga 12,2% dan menjadi kenaikan terbesar sejak April 1979. Sementara harga energi naik 41,6% pada Juni dan menjadi kenaikan terbesar dalam 12 bulan sejak April 1980.
Harga bahan bakar motor naik 60,2% sepanjang tahun. Harga bensin naik 59,9 juga menjadi kenaikan tertinggi dalam 12 bulan sejak Maret 1980.
Pembicaraan tentang resesi yang terjadi pada paruh pertama tahun 2022 juga tidak terbukti karena tingkat inflasi melandai ke level 7,7% pada Oktober.
Sementara dari data inflasi terakhir, biaya energi di AS meningkat 17,6%, lebih rendah dibanding September sebesar 19,8%. Harga bensin turun 17,5% dibanding bulan lalu sebesar 18,2%. Sementara listrik berada di level 14,1%, turun dibanding bulan sebelumnya sebesar 15,5%.
Perlambatan inflasi juga terlihat pada makanan yakni 10,9% versus 11,2% di bulan September. Di sisi lain, harga tempat tinggal (6,9% vs 6,6%) dan bahan bakar minyak (68,5% vs 58,1%) meningkat lebih cepat.
Jika berbicara tentang data untuk melihat kondisi ekonomi AS, kondisinya sangat dinamis. Dalam setiap perubahan data inflasi, banyak pengamat yang memberikan analisis berbeda, karena berita satu hari memberikan gambaran yang berbeda dari berita hari sebelumnya.
Seringkali, berita utama yang memenuhi headline tentang AS adalah berita inflasi dan sikap The Fed dalam menaikkan suku bunga yang disebut akan mendorong ekonomi AS kemungkinan ke jurang resesi.
Namun, mengutip proyeksi Deloitte, semua kebisingan di berita, ekonomi AS tidak terlihat seburuk itu.
Hal ini terlihat dari pertumbuhan ketenagakerjaan yang tetap kuat, dan banyak indicator ekonomi lainnya bertumbuh, meskipun bisa dikatakan lebih lambat dari tahun lalu.
Harga minyak dan makanan telah melandai sejak berada di puncaknya pada Juni lalu.
Harga bensin turun di bawah USD4 per galon di bulan Agustus. Pengeluaran konsumen tetap positif karena konsumen terus membelanjakan uang mereka.
Pangsa perumahan yang juga merupakan elemen kunci dari inflasi inti diproyeksi akan tetap tinggi untuk beberapa waktu, karena mengejar kenaikan tajam harga rumah selama dua tahun terakhir.
Diketahui suku bunga KPR di AS sudah mulai naik. Tingkat rata-rata untuk hipotek-30 tahun mencapai 5,78% pada Juli 2022, naik dari hanya 2,9% pada Januari 2021.
Namun, inflasi kemungkinan akan tetap menjadi perhatian. Sementara harga energi yang lebih rendah menekan inflasi umum, namun inflasi inti tetap tinggi.
2. Inggris
Inggris juga menjadi negara ekonomi utama yang mengalami kenaikan inflasi yang cukup tajam tahun ini.
Tingkat inflasi tahunan di Inggris melonjak menjadi 11,1% pada Oktober 2022 dari 10,1% pada September. Angka ini juga jauh lebih tinggi dari perkiraan pasar sebesar 10,7%. Dibandingkan bulan September, inflasi telah melonjak 2%, di atas perkiraan 1,7%.
Ini adalah tingkat inflasi tertinggi sejak Oktober 1981, dengan tekanan naik utama berasal dari jasa perumahan dan rumah tangga sebesar 26,6% dibanding bulan sebelumnya sebesar 20,2%.
Namun, kenaikan tersebut tertahan oleh kebijakan Energy Price Guarantee dari pemerintah, dengan rata-rata unit cost gas sebesar 10,3 p/kWh, dan listrik sebesar 34 p/kWh.
Tanpa adanya EPG, harga satuan rata-rata untuk gas dan listrik diperkirakan akan meningkat masing-masing menjadi 14,8 p/kWh dan 51,9 p/kWh.
Kondisi ini akan mendorong inflasi meningkat menjadi sekitar 13,8% seandainya pemerintah tidak melakukan intervensi untuk membatasi harga tagihan energi rumah tangga.
Harga makanan dan minuman non-alkohol juga naik menjadi 16,2% dibanding bulan sebelumnya sebesar 14,5%.
Di sisi lain, biaya transportasi melambat tajam mencapai 8,9% dibanding 10,6% pada bulan September, terutama bahan bakar kendaraan dengan tingkat inflasi mencapai 22,2%.
Inflasi di Inggris ditengarai oleh ketidakstabilan politik dalam negeri di mana negeri Raja Charler III itu telah mengalami pergantian Perdana Menteri (PM) hingga dua kali dalam setahun.
Setelah mengalahkan Boris Johnson dalam pemilihan, Liz Truss menggantikannya sebagai PM Inggris. Namun, hanya 45 hari menjabat, Truss akhirnya digantikan Rishi Sunak.
Desakan mundur Truss bermula ketika ia menetapkan kebijakan Mini Budget dan pemotongan pajak atau tax cut.
Kenaikan pajak perusahaan dibatalkan, mempertahankannya di level 19%. Pemerintahan Truss juga memberlakukan tarif dasar pemotongan pajak penghasilan menjadi 19% pada April 2023 dengan 31 juta orang akan mendapatkan rata-rata uang £170 lebih banyak per tahun.
Kebijakan ini disinyalir sebagai upaya untuk menekan inflasi dan menghindari resesi negeri tersebut. Namun, bak boomerang, kebijakan itu justru memukul Truss mundur dan digantikan oleh PM berdarah Asia pertama.
3. Jerman
Sebagai pusat ekonomi utama di Eropa, Jerman sepertinya juga salah satu yang paling menderita akibat kenaikan inflasi yang cukup tajam.
Diketahui bahwa perekonomian Jerman terpuruk akibat krisis energi yang melanda Der Panzer. Perang Rusia-Ukraina menyebabkan pasokan energi dalam negeri, yang sebagian besar harus dipenuhi dari pasokan Rusia, terpaksa terganggu.
Inflasi Jerman terpantau sedikit mendingin di bulan November, tetapi masih mendekati rekor tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan pada ekonomi terbesar Eropa itu masih perlu diwaspadai.
Mengutip Tradingeconomics, inflasi harga konsumen di Jerman turun menjadi 10% year on year (yoy), turun dari level tertinggi di bulan Oktober sebesar 10,4%.
Namun, tingkat suku bunga di negara ini tetap jauh di atas target Bank Sentral Eropa (ECB) sekitar 2%. Kondisi ini menunjukkan perlunya pengetatan moneter lanjutan untuk memerangi inflasi yang tinggi.
Perlambatan ini disinyalir karena kenaikan biaya energi yang lebih kecil sebesar 38,4% dibanding 43% bulan sebelumnya.
Di sisi lain, harga pangan cenderung meningkat sebesar 21% dibanding bulan sebelumnya sebesar 20,3%.
Peningkatan harga makanan dan energi di Jerman memang telah meningkat pesat sejak perang Rusia-Ukraina dimulai dan memiliki dampak yang besar buat ekonomi Der Panzer.
4. Jepang
Jepang menjadi salah satu corong ekonomi utama Asia. Namun, pukulan ekonomi semenjak pandemi hingga saat ini belum mereda menimpa negeri Sakura.
Untuk kebijakan moneternya, diketahui bahwa Jepang adalah salah satu negara yang tidak menerapkan kebijakan suku bunga hawkish.
Mengutip Bloomberg, Suku bunga yang ditetapkan Bank of Japan (BoJ) berada di bawah nol selama enam tahun, di kisaran -0,1%. Jepang juga belum pernah mengalami kenaikan suku bunga di atas 0,5% sejak 1995.
Target inflasi yang ditetapkan oleh bank sentral juga tidak lebih dari 2%. Namun, pelemahan ekonomi menyebabkan negeri Sakura terjebak dalam kenaikan inflasi signifikan sepanjang tahun ini.
Tingkat inflasi tahunan di Jepang naik menjadi 3,7% pada Oktober 2022. Ini adalah inflasi tertinggi sejak Januari 1991 di tengah tingginya harga komoditas mentah impor dan pelemahan mata uang yen yang terjadi terus menerus.
Tekanan inflasi datang dari semua komponen. Di antaranya makanan sebesar 6,2%, perumahan sebesar 1,1%, biaya bahan bakar, lampu, dan air sebesar 14,6%, listrik sebesar 10,9% dan gas sebesar 20,0%.
Inflasi inti juga naik 3,6% year on year (yoy), terbesar sejak Februari 1982. Angka ini disebut lebih tinggi dari perkiraan 3,5% dan di atas target 2% BoJ untuk tujuh bulan berturut-turut.
Ada dua faktor yang menyebabkan inflasi di Jepang lebih rendah dibanding negara lain. Pertama adalah control kuat negara dalam mengendalikan harga.
Berdasarkan catatan Chatham House, kebijakan kenaikan harga gas dan listrik di Jepang harga hanya bisa terjadi secara bertahap di mana perusahaan utilitas cenderung mengamankan kontrak pasokan jangka panjang, yang pada gilirannya menstabilkan biaya energi.
Kedua, lemahnya permintaan di Jepang. Tokyo mencabut pembatasan aktivitas ekonomi secara lebih bertahap. Ini membantu membatasi inflasi dengan menunda peningkatan permintaan pasca-pandemi yang terjadi di banyak negara lain.
5. China
China sempat menunjukkan pemulihan ekonomi yang lebih kuat dari perkiraan pada triwulan ke-3 tahun ini.
Ekonomi China naik 3,9% yoy di Q3 tahun 2022. Angka ini melebihi konsensus pasar sebesar 3,4% dan meningkat 0,4% dari pertumbuhan di Q2.
Meski demikian, negeri Tirai Bambu sedang berjuang dalam ekonominya. Ekonomi China tahun ini agak tertekan karena kebijakan Zero Covid-19 yang mendorong negeri Tirai Bambu menegakkan kebijakan lockdown.
Kebijakan lockdown akhirnya memicu munculnya gelombang protes sipil yang meluas di berbagai kota besar China. Hal ini semakin memperburuk situasi dan ekonomi.
Inflasi tahunan China turun menjadi 1,6% yoy pada November 2022 dari 2,1% pada bulan sebelumnya. Angka ini adalah angka terendah sejak Maret.
Kebijakan zero Covid ini juga mendorong sejumlah data ekonomi negeri Tirai Bambu menunjukkan pelemahan. Hal ini karena sektor manufaktur di China terpaksa berhenti beroperasi akibat kebijakan ini.
Teranyar, data Indeks manajer pembelian manufaktur resmi atau manufacturing purchasing managers index (PMI) untuk bulan November pada Rabu, (30/11) mengalami perlambatan.
PMI negara Tirai Bambu turun menjadi 48,0 pada bulan ini. Angka ini meleset dari ekspektasi ekonom mencapai 49,0 dan tergelincir jauh di bawah bulan lalu sebesar 49,2. (ADF)