sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Kasus Jiwasraya hingga Indosurya, Potret Kerentanan Industri Jasa Keuangan RI

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
09/02/2023 17:00 WIB
Marak kasus yang melibatkan sektor jasa keuangan dalam lima tahun terakhir.
Kasus Jiwasraya hingga Indosurya, Potret Kerentanan Industri Jasa Keuangan RI. (Foto: MNC Media)
Kasus Jiwasraya hingga Indosurya, Potret Kerentanan Industri Jasa Keuangan RI. (Foto: MNC Media)

OJK mencatat, per Juni 2022, perusahaan asuransi jiwa menempatkan dana mereka terbesar di instrumen reksadana dengan nilai mencapai Rp142 triliun. Adapun alokasi investasi terbesar kedua berada di pasar saham yang nilainya mencapai Rp137,32 triliun. (Lihat tabel di bawah ini.)

Sementara jumlah asset yang dilaporkan ke OJK adalah mencapai Rp196,62 triliun dan jumlah utang mencapai Rp34,32 triliun.

Ini menjadi gambaran bahwa tak hanya jasa keuangan populer seperti industri perbankan yang menjadi pilihan masyarakat untuk mengelola keuangan.

Namun, asuransi dan koperasi memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat. Namun, potret buram industri asuransi dan koperasi seolah menjadi duri dalam daging sektor jasa keuangan Tanah Air.

Mismanajemen hingga Lemahnya Penegakan Hukum

Hal yang paling memilukan dari kasus gagal bayar baik asuransi maupun KSP adalah cerita para nasabah yang harus kehilangan uang mereka.

Pasalnya, uang yang telah mereka kumpulkan sempat menjadi harapan untuk mendapat hidup lebih baik.

Tak hanya itu, ironi penegakan hukum hingga masalah manajemen kerap menjebak banyak pelaku bisnis asuransi dan KSP.

Di akhir Januari lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Syafrudin Ainor, Dede Suryaman, dan Sri Hartati, menjatuhkan vonis bebas buat bos KSP Indosurya, Henry Surya.

Ia bebas dari dakwaan dugaan penipuan dan penggelapan, pada Selasa (24/01).

Atas putusan terhadap kedua terdakwa itu, Jaksa Agung ST Burhanuddin memerintahkan jajarannya untuk melakukan kasasi, Rabu (25/1).

Mengutip Laporan Hasil Analisis (LHA) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kejagung menyebut kerugian yang disebabkan Indosurya menjadi yang terbesar sepanjang sejarah di Indonesia.

Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, juga menyayangkan kasus KSP Indosurya menjadi preseden buruk bagi koperasi simpan pinjam di Indonesia.

Menurut Teten, putusan itu juga telah mengabaikan rasa keadilan bagi ribuan anggota KSP Indosurya yang dirugikan.

“Kalau seperti ini, orang akan semakin kapok menjadi anggota koperasi simpan pinjam,” kata Teten dalam siaran resmi, Kamis (26/1).

Hal ini tak terlepas dari lemahnya pengawasan di sektor jasa keuangan non perbankan. Selama ini, pengawasan keuangan hanya difokuskan di sektor keuangan konvensional seperti perbankan, misalnya dengan adanya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Sebelumnya, OJK telah membentuk Satgas Waspada Investasi (SWI) yang bertugas mengawasi praktik investasi yang merugikan. Namun, bak gelembung, kasus KSP Indosurya menjadi tamparan keras lemahnya pengawasan terhadap koperasi keuangan.

Merespon kasus ini, pemerintah menyatakan akan merevisi UU 25/1992 tentang Perkoperasian, khususnya dalam penguatan di bindang pengawasan dan sanksi kepada setiap KSP.

Tak hanya itu, UU P2SK juga telah resmi menjadi landasan hukum pengaturan KSP.

Dalam UU tersebut, OJK akan menjadi lembaga resmi yang mengawasi dan mengatur KSP secara langsung.

Sementara dalam kasus asuransi, pada April 2021 lalu Tim Percepatan Restrukturisasi PT Asuransi Jiwasyara (Persero) mencatat, terjadinya gagal bayar di industri asuransi, tak terkecuali Jiwasraya, karena tidak optimalnya penerapan manajemen risiko dalam perusahaan.

Pada Senin lalu, (6/2), Mahendra Siregar, selaku Ketua Dewan Komisioner OJK menjelaskan, premi asuransi jiwa mengalami kontraksi sepanjang 2022.

Fakta ini mengindikasikan adanya masalah di dalam tubuh perusahaan asuransi yang perlu segera diselesaikan. 

Menurut Mahendra, premi asuransi umum dan reasuransi tumbuh sebesar 13,9% mencapai Rp119 triliun sepanjang 2022. Meski demikian, nilai itu mengalami kontraksi 7,8%.

“Kondisi ini menunjukkan bahwa mutlaknya penyelesaian masalah-masalah sejumlah perusahaan asuransi jiwa dalam waktu dekat," kata Mahendra dalam acara yang sama dengan presiden Jokowi.

Lanjut Mahendra, rasio solvabilitas atau risk based capital (RBC) industri asuransi umum sebesar 327% dan RBC asuransi jiwa sebesar 484,2%.

RBC adalah indikator yang mengukur kesehatan keuangan perusahaan asuransi untuk memenuhi kewajibannya.

Setali tiga uang, industri koperasi simpan pinjam (KSP) juga mencatatkan kerentanan serupa.

Untuk mengatasi itu, penting adanya prinsip kepatuhan dan tata kelola perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG).

Saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 44 Tahun 2020 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Lembaga Jasa Keuangan Non Bank (LJKNB).

Saat ini, masyarakat perlu lebih waspada jika akan melakukan investasi. Terutama jika diiming-imingi bunga besar yang tidak masuk akal.

Mengutip BBC Indonesia, menurut Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah terdapat setidaknya tiga ciri-ciri investasi bodong.

Pertama adalah menjanjikan keuntungan yang tidak masuk akal.

“Keuntungan 30-50%, bahkan berlipat-lipat, dalam waktu singkat. Itu sudah pasti bodong, dan dicurigai,” kata Piter.

Ciri kedua adalah tidak adanya kejelasan informasi mengenai bisnis investasi perusahaan tersebut.

“Kalau investasi itu harus jelas, menanam padi, buka tambak lele, itu kan jelas. Kalau bisnis tidak jelas bisnis apa, investasi apa, produk apa, sektor apa, pasar dimana, itu perlu dicurigai,” imbuh Piter.

Dan ketiga, penting untuk memastikan siapa pengelola, pemilik, izin hingga tokoh di baliknya.

“Tiga hal ini saja sudah cukup untuk kita dari awal mengantisipasi untuk berhati-hati,” kata Piter. (ADF)

Halaman : 1 2 Lihat Semua
Advertisement
Advertisement