Selanjutnya di Kabupaten Bangkalan terdapat selisih 4,9 persen, dimana di SK bupati terdapat 10.617 penduduk miskin, sedangkan yang terverifikasi tim peneliti justru mencapai 10.990 penduduk.
“Yang berbeda di Kabupaten Probolinggo karena budaya malu menjadikan jumlah orang miskin di SK bupati lebih banyak dibandingkan dengan temuan kami yang terverifikasi. Ada selisih 1,6 persen dari SK bupati,” ungkapnya.
Habibi menambahkan, bila di SK Bupati Probolinggo terdapat 3.672 penduduk, yang ditemukan di lapangan dan terverifikasi ada 2.884 penduduk. Dimana total terdapat 22.642 di SK bupati masing – masing daerah menjadi 22.546 berdasarkan verifikasi data di lapangan.
“Terdapat 1.792 warga miskin ekstrim baru dan 1.888 yang sudah terentaskan dari status warga miskin ekstrim hingga 2021.
Menurut peneliti lain, Abdul Wahid, usaha keras pemerintah mengentaskan kemiskinan ektrim dihadapkan beberapa masalah seperti data overlap dari pusat, daerah, dan desa sendiri. Data ini menjadi penting sebagai acuan dasar bantuan, program pemberdayaan, dan sekaligus evaluasi keberhasilannya.
“Bantuan langsung pada masyarakat miskin ekstrim harus diimbangi dengan program pemberdayaan secara jangka panjang”, ujar Wahid yang juga sebagai peneliti senior di Centre for Policy Studies and Data Analysis (CYDA).
Program pengentasan kemiskinan yang semata menempatkan masyarakat miskin sebagai penerima bantuan tidak cukup, tapi harus mulai digeser pada perspektif pemberdayaan, sehingga progress pengentasan kemiskinan dapat lebih cepat.
Pihaknya juga merekomendasikan kajian ke Kemendes PDTT untuk bisa melakukan sensus kemiskinan, dengan indikator kemiskinan yang jelas. “Sehingga diketahui apakah itu akurat atau tidak, masih hidup atau tidak. Hal itu yang menyebabkan ketidakvalidan sebuah data. Data kemiskinan terutama kemiskinan Ekstrem, kemarin kami usulkan kajian ke Kemendes, dipisahkan mana miskin biasa, mana miskin ekstrim, sehingga ada upaya lebih konkrit,” pungkasnya. (TIA)