Sebagai informasi, industri pelayaran dan pengiriman kargo sempat terpukul karena perang Rusia-Ukraina. Kondisi ini sempat berdampak pada mandegnya pengiriman barang-barang secara global.
Baru-baru ini, ketua Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Ngozi Okonjo-Iweala, memperingatkan bahwa kondisi saat ini akan mempunyai dampak yang sangat signifikan terhadap arus perdagangan global yang sudah lemah jika konflik terus meluas ke seluruh kawasan.
Meningkatnya kekerasan di Timur Tengah juga akan menambah faktor-faktor yang telah menghambat pertumbuhan perdagangan selama ini. Di antaranya termasuk era tingginya suku bunga, guncangan pasar properti China dan ekonominya yang masih belum bangkit, serta dampak perang Rusia di Ukraina yang masih terasa.
WTO juga telah menurunkan separuh perkiraan pertumbuhan perdagangan barang global tahun ini, menjadi 0,8 persen dari sebelumnya 1,7 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)
“Perlambatan perdagangan tampaknya terjadi secara luas, melibatkan sejumlah besar negara dan beragam barang, khususnya kategori manufaktur tertentu seperti besi dan baja, peralatan kantor dan telekomunikasi, tekstil, dan pakaian,” kata WTO dalam Outlook Perdagangan Global Oktober 2023.
Inflasi Bisa Memburuk
Inflasi secara umum didefinisikan sebagai kenaikan terus-menerus pada harga rata-rata barang dan jasa di suatu wilayah.
Menyusul inflasi global yang sangat tinggi yang dialami pada 1980 an dan 1990 an, inflasi global relatif stabil sejak pergantian milenium dan biasanya berkisar antara tiga dan lima persen per tahun.
Namun, Inflasi global kembali mengalami peningkatan tajam pada 2008 akibat krisis keuangan global.
Meski demikian, inflasi kembali stabil sepanjang tahun 2010-an, sebelum krisis inflasi yang dimulai pada 2021.
Memasuki 2020, meskipun terdapat dampak ekonomi dari pandemi virus corona, tingkat inflasi global turun menjadi 3,25 persen pada tahun pertama pandemi. Angka inflasi global kembali meningkat menjadi 4,7 persen pada 2021.
Peningkatan ini terjadi karena dampak dari tertundanya rantai pasokan mulai berdampak lebih besar pada konsumen dan meroketnya harga-harga.
Kemudian, perang Rusia-Ukraina pada 2022 memperburuk kondisi ekonomi global lebih lanjut.
Serangkaian masalah yang semakin rumit seperti kenaikan harga energi dan pangan, ketidakstabilan fiskal setelah pandemi, dan ketidakamanan konsumen telah menciptakan resesi global baru dengan inflasi tahun lalu mencapai 8,71 persen, tertinggi sejak 2000. (Lihat grafik di bawah ini.)
Sementara inflasi global pada 2023 diperkirakan mencapai 6,9 persen. Namun, dengan adanya konflik Israel-Palestina bisa saja angka inflasi ini meroket lebih tinggi.
Pierre-Olivier Gourinchas, kepala ekonom IMF, mengatakan sebenarnya terlalu dini untuk menilai dampak konflik yang telah berlangsung di Timur Tengah terhadap pertumbuhan ekonomi global.
Namun, dia mengatakan IMF memantau situasi dengan cermat dan mencatat kenaikan harga minyak ketika konflik dimulai.
Sementara itu, Presiden Bank Dunia Ajay Banga mengatakan bahwa konflik Israel-Hamas adalah tragedi kemanusiaan dan guncangan ekonomi global yang tidak perlu. Menurut Banga, kondisi ini akan mempersulit bank sentral untuk mencapai soft landing – sebuah perlambatan yang menghindari resesi – di banyak negara jika konflik tersebut menyebar.
“Bank-bank sentral mulai merasa sedikit lebih yakin bahwa ada peluang untuk melakukan soft landing, dan hal ini justru mempersulitnya,” kata Banga di sela-sela pertemuan Bank Dunia di Marrakesh.
Mengutip Statista, jika tak terjadi guncangan berarti, inflasi global diperkirakan akan moderat pada tahun 2023-2024. Tingkat inflasi global diperkirakan akan turun menjadi 4,4 persen pada 2024.
Namun, di tengah konflik yang terjadi saat ini antara Israel dan Palestina, dan kemungkinan merembetnya konflik menyeret negara lain, bukan berarti segala prediksi di atas akan kembali berubah. (ADF)