IDXChannel - Data Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia selama 2024 menjadi salah satu indikator adanya pelemahan kinerja sektor industri di Tanah Air.
S&P Global mencatat PMI Manufaktur RI mengalami kontraksi beruntun selama lima bulan yaitu Juli (49,3), Agustus (48,9), September (49,2), Oktober (49,2), dan November (49,6).
Skor PMI di atas 50 menunjukkan sektor manufaktur berada di level ekspansi. Sebaliknya, jika angkanya di bawah 50, industri berada di fase kontraksi.
Padahal, pada periode yang sama, mayoritas PMI Manufaktur negara ASEAN seperti Thailand, Filipina, dan Vietnam berada di zona ekspansi. Indonesia berada dalam tiga besar negara dengan PMI terendah di ASEAN selama periode tersebut, bersama dengan Malaysia dan Singapura.
Penurunan PMI manufaktur Indonesia yang terjadi pada Juli 2024 menjadi yang pertama kalinya dalam 34 bulan sebelumnya atau sejak Agustus 2021.
Berikut, sejumlah penyebab yang ditenggarai menjadi penyebab menurunnya PMI Manufaktur Indonesia selama lima bulan terakhir.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arief mengaku tidak heran dengan kondisi indeks PMI manufaktur RI yang cenderung "mandek" di bawah 50 di saat sebagian besar negara-negara ASEAN lainnya memiliki indeks PMI manufaktur di atas 50 atau ekspansif.
"Survei PMI dari S&P Global ini dilakukan kepada perusahaan industri existing yang sedang beroperasi di Indonesia, dan bukan calon investor. Masih banyak regulasi yang belum mendukung industri dalam negeri, padahal regulasi tersebut dibutuhkan oleh manufaktur. Bahkan, regulasi yang ada saat ini malah mempersulit ruang gerak industri untuk meningkatkan utilisasi produksinya,” ujar Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arief belum lama ini.
Selain itu, gempuran produk impor barang jadi, baik legal maupun ilegal, ditengarai masih menjadi penyebab kontraksinya PMI manufaktur Indonesia.
Banjirnya produk impor telah menekan permintaan atas produk dari industri dalam negeri.
Pemberlakuan kebijakan relaksasi impor pun turut memberikan konsekuensi seluas-luasnya bagi masuknya produk jadi impor yang berhasil membanjiri pasar Indonesia.
Perbandingan instrumen trade measures yang dimiliki Indonesia dengan negara lain, menunjukkan betapa mudahnya pasar domestik Indonesia digempur barang impor.
Sebagaimana diketahui, trade measures adalah instrumen kebijakan yang diberlakukan oleh negara-negara WTO untuk menghambat masuknya produk impor ke pasar domestik mereka.
Indonesia memiliki 207 jenis instrumen ini untuk menahan laju impor masuk ke pasar domestik. Sementara anggota WTO lain seperti RRT dan Amerika, masing-masing memiliki 1.569 dan 4.597 jenis instrumen trade measures.
Bahkan dengan negara-negara ASEAN, instrumen trade measures Indonesia jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan Thailand, Philipina, dan Singapura yang memiliki instrumen trade measure masing-masing sebesar 661, 562, dan 216.
Deindustrialisasi Prematur
Sementara itu, Peneliti Makro Ekonomi dan Pasa Keuangan LPEM FEB UI, Teuku Rifky, menilai penurunan PMI manufaktur menjadi sinyal adanya gejala deindustrialisasi prematur di Indonesia.
"Kenapa disebutnya prematur? karena memang biasanya perlambatan sektor industri atau manufaktur itu terjadi kalau suatu negara sudah berhasil take off atau lepas landas dari negara berkembang menjadi negara maju," kata Rifky dalam Market Review IDX Channel, Senin (4/8/2024).
Indonesia, tambah Rifky, belum sampai pada tahap tersebut. Namun, sektor manufaktur sudah mengalami perlambatan.
Adapun gejala deindustrialisasi prematur dipengaruhi sejumlah faktor, seperti regulasi yang tidak mendukung daya saing industri, hingga tenaga kerja yang kalah saing.
"Dan juga misalnya dari sisi keterkaitan industrinya tidak mendukung efisiensi dan produktivitas," tutur Rifky.
Rilis PMI Manufaktur Indonesia untuk Desember 2024 akan menjadi momen yang penting, terutama untuk melihat apakah ada perubahan tren dari kontraksi menuju ekspansi.
Peningkatan output pada November menunjukkan sinyal optimisme.
Jika PMI Manufaktur RI pada Desember 2024 mencapai atau melampaui 50, akan menandakan pergeseran ke zona ekspansi. Namun, risiko penurunan tetap ada mengingat pesanan baru, terutama ekspor, masih melemah.
(NIA DEVIYANA)