Meskipun ada dukungan publik yang luas untuk metode pelacakan dan penelusuran invasif, para pembela hak asasi manusia dan beberapa anggota parlemen Korea Selatan telah menyatakan keprihatinannya bahwa pemerintah akan menyimpan dan memanfaatkan data tersebut jauh melampaui kebutuhan pandemi.
"Rencana pemerintah untuk menjadi Big Brother dengan dalih COVID adalah ide neo-totaliter," kata Park Dae-chul, seorang anggota parlemen dari oposisi utama People Power Party, kepada Reuters.
Namun, pejabat di Bucheon membantah hal tersebut dan menyatakan bahwa tidak ada masalah privasi karena sistem hanya menempatkan mozaik wajah siapapun yang bukan subjek.
"Tidak ada masalah privasi di sini karena sistem melacak pasien yang dikonfirmasi berdasarkan Undang-Undang Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular. Pelacak kontak tetap berpegang pada aturan itu sehingga tidak ada risiko tumpahan data atau pelanggaran privasi,” ucapnya.
“Aturannya, pasien harus memberikan persetujuan mereka untuk pelacakan pengenalan wajah yang akan digunakan, tetapi jika mereka tidak setuju, sistem masih dapat melacak mereka menggunakan siluet dan pakaian mereka,” pungkasnya.