sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Meneropong Ekonomi Global 2024, Bank Dunia Waspadai 5 Hal Ini

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
10/01/2024 15:01 WIB
Bank Dunia memprediksi perekonomian global, khususnya Asia Pasifik akan berjuang sepanjang 2024.
Meneropong Ekonomi Global 2024, Bank Dunia Waspadai 5 Hal Ini. (Foto: MNC Media)
Meneropong Ekonomi Global 2024, Bank Dunia Waspadai 5 Hal Ini. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Bank Dunia memprediksi perekonomian global, khususnya Asia Pasifik akan berjuang sepanjang 2024. 

Dalam Global Economic Prospects 2024 edisi Januari yang dirilis Selasa (9/1/2024), perekonomian global diramal akan mengalami rekor buruk pada akhir 2024. 

Pertumbuhan PDB diperkirakan akan mengalami pertumbuhan paling lambat dalam 30 tahun terakhir, meski perekonomian global berada dalam kondisi yang lebih baik dibandingkan tahun lalu.

Pertumbuhan global diperkirakan akan melambat selama tiga tahun berturut-turut—dari 2,6 persen tahun lalu menjadi 2,4 persen pada tahun 2024, hampir tiga perempat poin persentase di bawah rata-rata tahun 2010an. 

Ekonomi negara-negara berkembang juga diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 3,9 persen, lebih dari satu poin persentase di bawah rata-rata pertumbuhan pada dekade sebelumnya. 

Setelah kinerja yang mengecewakan tahun lalu, negara-negara berpendapatan rendah juga diperkirakan akan menikmati pertumbuhan ekonomi 5,5 persen, dan merupakan perkiraan yang lebih lemah dari sebelumnya. 

Outlook Ekonomi Asia Pasifik

Secara khusus, di kawasan Asia Pasifik, pertumbuhan ekonomi di wilayah ini kembali meningkat hingga diperkirakan mencapai 5,1 persen pada 2023. Kondisi ini mencerminkan lonjakan aktivitas jangka pendek di China pada awal tahun setelah dibukanya kembali pembatasan akibat pandemi.

Pertumbuhan ekonomi Asia Pasifik diperkirakan akan melambat menjadi 4,5 persen pada 2024 dan menjadi 4,4 persen pada t 2025, yang sebagian besar mencerminkan pertumbuhan yang lebih lambat di China. Jika tidak termasuk China, pertumbuhan di kawasan ini diproyeksikan akan sedikit menguat, mencapai angka 4,7 persen pada 2024 dan 2025.

Pertumbuhan PDB Indonesia sendiri diproyeksikan akan mencapai 4,9 persen di 2024, melambat dibandingkan 2023 yang sebesar 5 persen. (Lihat tabel di bawah ini.)

Di kawasan Asia Pasifik kecuali China, permintaan domestik yang kuat, khususnya konsumsi swasta, diperkirakan akan menjadi pendorong utama pertumbuhan. 

Inflasi yang moderat dan, dalam banyak kasus, pasar tenaga kerja yang kuat, didukung oleh aktivitas jasa yang meningkat, diperkirakan akan mempertahankan belanja rumah tangga. 

Di beberapa negara, peningkatan belanja pemerintah, termasuk perlindungan sosial dan upah sektor publik, juga akan mendukung permintaan. 

Sementara dari sisi pertumbuhan investasi diproyeksikan akan lebih lemah, lebih rendah dari rata-rata sebelum pandemi di banyak negara pada 2024 dan 2025. 

Hal ini mencerminkan berbagai hambatan yang dihadapi investasi swasta, termasuk dampak lambat dari pengetatan kebijakan moneter, ketidakpastian kebijakan (di beberapa negara terkait dengan kebijakan transisi pemerintah karena adanya pemilihan umum), dan meningkatnya utang. Selain itu, peningkatan utang pemerintah dan berkurangnya ruang fiskal diperkirakan akan menghambat pertumbuhan investasi publik. 

Sejumlah Tantangan di 2024

Menurut Bank Dunia, tahun 2024 juga akan diwarnai risiko resesi global yang semakin berkurang, terutama karena kuatnya perekonomian Amerika Serikat (AS). Namun meningkatnya ketegangan geopolitik dapat menciptakan bahaya baru dalam jangka pendek bagi perekonomian dunia. 

Sementara itu, prospek jangka menengah bagi banyak negara berkembang semakin suram di tengah sejumlah faktor. Di antaranya melambatnya pertumbuhan di sebagian besar negara besar, lesunya perdagangan global, dan kondisi keuangan yang paling ketat dalam beberapa dekade.

Lesunya Perdagangan Global

Pertumbuhan perdagangan global pada 2024 diperkirakan hanya setengah dari rata-rata pertumbuhan perdagangan global pada dekade sebelum pandemi. Sementara itu, biaya pinjaman di negara-negara berkembang – terutama negara-negara dengan peringkat kredit yang buruk – kemungkinan besar akan tetap tinggi karena suku bunga global berada pada level tertinggi dalam empat dekade jika disesuaikan dengan inflasi.

Masyarakat Miskin Bertambah

Pada akhir tahun 2024, masyarakat di empat negara berkembang dan sekitar 40 persen negara berpendapatan rendah masih akan berada dalam kondisi lebih miskin dibandingkan saat sebelum pandemi Covid-19 terjadi pada 2019. Sementara itu, di negara-negara maju, pertumbuhan ekonomi akan melambat menjadi 1,2 persen tahun ini dari sebelumnya 1,5 persen pada 2023.

“Tanpa adanya koreksi besar-besaran, tahun 2020-an akan menjadi dekade dengan peluang yang terbuang sia-sia. Pertumbuhan jangka pendek akan tetap lemah, sehingga banyak negara berkembang—terutama negara-negara termiskin—terjebak dalam perangkap: dengan tingkat utang yang sangat besar dan lemahnya akses terhadap pangan bagi hampir satu dari setiap tiga orang. Hal ini akan menghambat kemajuan dalam banyak prioritas global,” kata Indermit Gill, Kepala Ekonom dan Wakil Presiden Senior Grup Bank Dunia.

Besarnya Biaya Perubahan Iklim

Tak hanya itu, pemerintah juga akan dihadapkan untuk mengatasi perubahan iklim dan mencapai tujuan pembangunan global utama lainnya pada 2030. Dalam hal ini, negara-negara berkembang perlu meningkatkan investasi dalam jumlah besar —sekitar USD2,4 triliun per tahun. 

Melemahnya Investasi

Tanpa paket kebijakan yang komprehensif, prospek peningkatan tersebut tidaklah cerah. Pertumbuhan investasi per kapita di negara-negara berkembang antara tahun 2023 dan 2024 diperkirakan hanya rata-rata sebesar 3,7 persen, atau hanya setengah dari pertumbuhan dua dekade sebelumnya.

Laporan ini menemukan bahwa negara-negara berkembang sering kali memperoleh keuntungan ekonomi ketika mereka mempercepat pertumbuhan investasi per kapita hingga setidaknya 4 persen dan mempertahankannya selama enam tahun atau lebih.

Beberapa keuntungan dari investasi tersebut di antaranya laju konvergensi dengan tingkat pendapatan negara-negara maju semakin cepat, dan tingkat kemiskinan menurun lebih cepat, dan pertumbuhan produktivitas empat kali lipat. 

Manfaat lain juga terwujud selama masa booming ini. Antara lain, inflasi menurun, posisi fiskal dan eksternal membaik, dan akses masyarakat terhadap internet meningkat pesat.

“Ledakan investasi mempunyai potensi untuk mentransformasi negara-negara berkembang dan membantu mereka mempercepat transisi energi dan mencapai berbagai tujuan pembangunan,” kata Ayhan Kose, Wakil Kepala Ekonom Bank Dunia dan Direktur Prospects Group.

Menurut Kose, untuk memicu lonjakan tersebut, negara-negara berkembang perlu menerapkan paket kebijakan yang komprehensif untuk meningkatkan kerangka fiskal dan moneter, memperluas perdagangan lintas negara dan arus keuangan, memperbaiki iklim investasi, dan memperkuat kualitas kelembagaan. 

“Hal ini merupakan kerja keras, namun banyak negara berkembang telah mampu melakukannya sebelumnya. Melakukan hal ini lagi akan membantu memitigasi proyeksi perlambatan potensi pertumbuhan di sisa dekade ini,” imbuh Kose.

Mewaspadai Siklus Boom-and-Bust Komoditas

Prospek Ekonomi Global Bank Dunia terbaru juga mengidentifikasi apa yang dapat dilakukan oleh dua pertiga negara berkembang—khususnya eksportir komoditas—untuk menghindari siklus boom-and-bust. 

Laporan ini menemukan bahwa pemerintah di negara-negara tersebut sering mengadopsi kebijakan fiskal yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kehancuran. 

Ketika kenaikan harga komoditas meningkatkan pertumbuhan sebesar 1 poin persentase, misalnya, pemerintah meningkatkan belanja dengan cara yang dapat meningkatkan pertumbuhan sebesar 0,2 poin persentase tambahan. 

Secara umum, pada saat-saat yang baik, kebijakan fiskal cenderung membuat perekonomian menjadi terlalu panas. Namun, di saat-saat buruk, kondisi ini akan memperdalam kemerosotan kinerja ekonomi. (ADF)

Halaman : 1 2 3 4 5 6 7
Advertisement
Advertisement