Menurut dia satgas juga membantu koordinasi pengiriman ahli-ahli dari lembaga peneliti terkemuka di Indonesia untuk menjadi saksi di sidang pengadilan di Australia.
"Kasus ini amat penting untuk Indonesia. Kemenko Marves melakukan koordinasi secara maksimal untuk memastikan segala sumber daya yang ada untuk dijadikan dasar gugatan, agar masyarakat NTT menang di pengadilan Australia," tambah Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim saat itu, Saudara Purbaya Yudhi Sadewa.
Kasus ini berawal dari tumpahan minyak yang terjadi pada pada 21 Agustus 2009 saat anjungan minyak di lapangan Montara milik perusahaan asal Thailand, PTT Exploration and Production (PTTEP), meledak di lepas landas kontinen Australia.
Tumpahan minyak dengan volume lebih dari 23 juta liter mengalir ke Laut Timor selama 74 hari. Tumpahan minyak itu juga berdampak hingga ke pesisir Indonesia. Luas tumpahan diperkirakan mencapai kurang lebih 92 ribu meter persegi.
Satgas menemukan ada 13 kabupaten di NTT yang terkena dampak dari kasus Montara. Ketua Yayasan Peduli Timor Barat Ferdi Tanone yang juga anggota Satgas mengatakan ia sudah dihubungi oleh pengacara yang mewakili di Pengadilan siang tadi.
"Saya menyambut baik putusan pengadilan ini, selanjutnya kami sedang menunggu sikap dari PTTEP," tutur dia.
Hakim David Yates dalam putusannya menyatakan bahwa PTTEP tidak menyanggah bukti bahwa mereka telah lalai dalam operasinya di ladang minyak Montara dan karenanya menghukum perusahaan tersebut untuk memberi ganti rugi sebesar Rp252 juta kepada penggugat utama dari gugatan kelompok (class action) tersebut, sementara PTTEP menyatakan pikir-pikir untuk melakukan banding. (TYO)