Arifin menambahkan, sektor kelistrikan akan mencapai puncak emisi antara periode 2035 dan 2040. "Namun kita akan dapat mencapainya lebih cepat apabila mendapat dukungan internasional," sambungnya.
Untuk mencapai NZE, penggunaan teknologi yang mutakhir dan keberadaan industri pendukung sangat diperlukan. Tantangan saat ini adalah ketersediaan teknologi energi bersih dengan harga terjangkau.
"Kerja sama dan solusi dalam teknologi memiliki peran yang kritikal dalam dekarbonisasi sektor kelistrikan dan industri yang hard-to-abate. Kendaraan listrik berbasis baterai menjadi teknologi kunci untuk menurunkan emisi di sektor transportasi," ujar Arifin.
Dia bilang, Indonesia memiliki target 2 juta mobil listrik dan 13 juta sepeda motor listrik pada 2030. Saat ini, pemerintah memberikan insentif kepada masyarakat dalam membeli kendaraan listrik baru maupun konversi sepeda motor berbahan bakar minyak menjadi sepeda motor listrik.
"Ketersediaan baterai menjadi sangat krusial dalam menyukseskan program kendaraan listrik dan pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Kami mengharap investasi dan kerja sama untuk mengubah pengolahan nikel menjadi industri manufaktur baterai, memberikan nilai tambah bagi sumber daya mineral kita, dan menciptakan lapangan pekerjaan di Indonesia," ungkap Arifin.
Arifin juga menggarisbawahi peran CCS atau CCUS untuk dekarbonisasi industri hulu migas dan sektor industri yang hard-to-abate, seperti semen dan petrokimia.
"Kami membutuhkan dukungan investasi dan penelitian bersama untuk mengembangkan potensi penyimpanan CO2 dari minyak dan gas yang habis dan akuifer garam dengan total kapasitas penyimpanan 12,2 miliar ton CO2. Kami memiliki 15 proyek CCS/CCUS yang akan beroperasi sebelum tahun 2030 dengan kapasitas penyimpanan hingga 68 juta ton CO2," jelasnya.