IDXChannel - Sustainable finance atau pembiayaan berkelanjutan menjadi salah satu topik yang sedang naik daun. Perubahan iklim dan orientasi bisnis berbasis lingkungan disinyalir mendorong munculnya wacana pembiayaan berkelanjutan ini.
Di Indonesia sendiri, instrumen keuangan hijau juga memperoleh popularitas dari para investor dalam beberapa tahun terakhir. Salah satunya adalah minat terkait surat utang hijau atau green bonds.
Dalam laporan Climate Bonds Initiative 2022, pemerintah Indonesia telah mengumpulkan sebesar USD4,33 miliar atau sekitar Rp62 triliun melalui penerbitan green bond pada periode 2018 hingga 2021. Green bond ini mencakup green sukuk, baik ritel maupun global.
Pada 2018, pemerintah berhasil mengumpulkan USD1,25 miliar melalui sukuk hijau global, meskipun nilainya turun di tahun berikutnya mencapai USD848 juta.
Di tahun pandemi, kenaikan green bond justru terjadi dengan jumlah USD1,13 miliar dan turun di tahun 2021 menjadi USD1,1 miliar. (Lihat grafik di bawah ini.)
Aspek keberlanjutan juga telah menjadi salah satu pertimbangan utama dalam setiap pembiayaan atau investasi, termasuk di sektor keuangan.
Gubernur Bank Indoneisa (BI) Perry Warjiyo dalam sesi Leader's Insight Sustainable Finance Working Group G20 pada Februari lalu menyatakan telah saling bekerja sama dengan fokus pengembangan Sustainable Finance Instrument (SFI) untuk mendukung ekonomi hijau dan berkelanjutan.
Kolaborasi bersama antara pemerintah dan otoritas dipandang penting untuk terus ditingkatkan untuk membangun ekosistem guna menjaga kontinuitas SFI di pasar dalam jangka panjang.
Mengutip website BI, Perry Warjiyo juga memaparkan 3 strategi untuk meningkatkan SFI.
Pertama, pentingnya mengembangkan instrumen keuangan dan investasi hijau untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif. Hal ini dapat menjadi sumber pertumbuhan baru, perluasan tenaga kerja dan mendukung pencapaian Paris Agreement 2030.
Kedua, pentingnya membangun ekosistem instrumen keuangan berkelanjutan. Hal ini dapat diwujudkan dengan dukungan semua pihak terkait melalui kebijakan insentif maupun disinsentif, membangun infrastruktur yang resilien, termasuk elemen penting lainnya seperti taksonomi hijau, jasa verifikasi, lembaga sertifikasi hijau, dan penyedia ratings hijau.
Bank Indonesia bersama pemerintah akan turut mengambil peran dalam pengembangan ekosistem hijau di Indonesia melalui kebijakan dan dukungan instrumen pasar uang hijau, pembiayaan hijau dan inklusif untuk UMKM serta ekonomi dan keuangan syariah yang berkelanjutan.
Ketiga, program pembangunan kapasitas dan bantuan teknis berkelanjutan menjadi hal penting dalam meningkatkan pemahaman dan keahlian seluruh pihak. Keberhasilan pengembangan SFI akan ditentukan oleh ketangguhan kolaborasi, kebersamaan, dan saling mendukung antar seluruh pemangku kepentingan.
Namun, bagaimana nasib pembiayaan berkelanjutan di tengah meningkatnya harga komoditas yang dianggap kotor dan penyebab utama emisi?
Pendanaan Sektor Tambang Masih Deras Mengalir
Sejumlah bank di Indonesia menyatakan komitmen untuk mendukung ekonomi hijau dan pembiayaan hijau. Beberapa bank seperti BRI (BBRI) sudah menyatakan membatasi pembiayaan ke sektor energi fosil, seperti batu bara dan minyak bumi.
Hal ini disampaikan Direktur Utama BRI, Sunarso bahwa perseroan akan membatasi kredit ke sektor energi fosil, termasuk ke pertambangan batu bara dan minyak bumi.
Portofolio kredit perseroan BRI ke sektor energi fosil, terutama batu bara, hanya 0,03% dari keseluruhan kredit BRI. Nilai ini dipastikan tidak akan bertambah.
Ada juga BNI (BBNI) yang menyatakan komitmen di segmen green banking dengan menawarkan obligasi korporasi berwawasan lingkungan atau green bond mencapai Rp5 triliun.
BNI juga mengklaim sebagai yang pertama yang menerbitkan green bond dalam denominasi rupiah. Menurut BNI, dana yang terhimpun akan digunakan untuk pembiayaan proyek berkategori Kegiatan Usaha Berwawasan Lingkungan (KUBL).