IDXChannel - Ekspor dan impor diproyeksikan akan mengalami penurunan secara tahunan (year on year/YoY) pada Juli berdasarkan hasil jajak pendapat Reuters yang dipublikasikan Senin (14/8/2023).
Pelemahan ini terjadi di tengah melemahnya perdagangan global, dengan surplus perdagangannya juga diperkirakan akan menyusut.
Perkiraan rata-rata dari 17 ekonom yang disurvei untuk neraca perdagangan Indonesia bulan Juli mencatatkan surplus USD2,53 miliar, turun dari USD3,46 miliar sebulan sebelumnya. (Lihat grafik di bawah ini.)
Ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini tercatat membukukan surplus perdagangan terbesarnya tahun lalu karena ekspor melonjak, didorong oleh ledakan komoditas global.
Bulan lalu, ekspor mengalami penurunan 18,3 persen secara tahunan, menyusul penurunan tahunan sebesar 21,18 persen pada Juni. Ini juga sejalan dengan prediksi para ekonom dalam survei yang dilakukan antara 7 dan 14 Agustus.
Sementara impor diproyeksikan kemungkinan turun 15,50 persen secara tahunan, dibandingkan dengan penurunan 18,35 persen pada Juni.
Sementara riset dari Panin Sekuritas menyebutkan pertumbuhan ekspor-impor menurut konsensus merosot masing-masing sebesar 17,9 persen yoy dan 15,2 persen yoy.
“Hal itu disebabkan penurunan harga komoditas serta perlambatan ekonomi global," tulis riset harian dari Panin Sekuritas, Senin (14/8/2023).
Turunnya Harga Komoditas dan Kondisi China
Surplus neraca dagang RI diramalkan mulai menyempit tahun ini karena ekspor menurun di tengah penurunan harga komoditas utama seperti batu bara, minyak kelapa sawit dan nikel.
Harga batu bara di bursa ICE Newcastle untuk kontrak November 2023 mengalami penguatan 10,19 persen dalam sebulan terakhir. Namun, dalam setahun, harga batu bara masih terkontraksi 44,82 persen sejak Agustus 2022.
Minyak sawit berjangka Malaysia diperdagangkan di kisaran MYR 3.700 per ton, tetap berada dalam tren turun dan bertahan di dekat level terendah dalam enam minggu setelah kenaikan MYR 4.000 pada awal Juli.
Harga CPO terbebani oleh terhentinya pemulihan ekonomi di China dan menguatnya dolar AS.
Adapun harga nikel tertekan 1,09 persen pada perdagangan hari ini di level USD19.953 per ton dan berada di level terendah dalam sebulan terakhir. Harga nikel telah terkontraksi 13,11 persen dalam satu tahun terakhir.
Selain itu, salah satu faktor lesunya perdagangan global disebabkan oleh lesunya ekonomi China.
Sejumlah data ekonomi dari negeri ekonomi terbesar kedua dunia tersebut masih menunjukkan tekanan lanjutan.
Teranyar, data menunjukkan bahwa pinjaman bank baru di China anjlok 89 persen pada Juli dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Kondisi ini memperburuk kekhawatiran pasar tentang ekonomi negara tersebut yang goyah.
Sektor properti menjadi penyebab guncangan terhadap ekonomi China di mana pengembang top negara tersebut, yakni China Country Garden melewatkan pembayaran utang obligasi berdenominasi dolar minggu lalu.
Perusahaan ini juga dilaporkan menangguhkan perdagangan 11 obligasi dalam negeri pada Senin (14/8/2023).
Tak hanya itu, perekonomian China tergelincir ke dalam deflasi karena harga konsumen turun pada bulan Juli untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua tahun.
Indeks harga konsumen resmi, ukuran inflasi yang digunakan pemerintah, turun 0,3 persen secara tahunan.
Analis mengatakan kondisi ini menyebabkan tekanan pada pemerintah untuk menghidupkan kembali permintaan di ekonomi terbesar kedua dunia tersebut.
Tak hanya itu, data impor dan ekspor China yang lemah juga membuat banyak pasar bergejolak khawatir tertekan lemahnya permintaan dari negeri Tirai Bambu tersebut. (ADF)